Â
 Etnis Tionghoa selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka yang terdahulu untuk membangun sistem religi atau kepercayaan terhadap sesuatu menjadi suatu Kebudayaan. Sistem kepercayaan tersebut akan mempengaruhi kebiasaan (usage), pandangan terhadap hidup dan menjalani kehidupan dalam kebudayaan termasuk salah satu diantaranya adalah menghormati leluhur atau nenek moyangnya. Penghormatan kepada leluhur merupakan sebuah fenomena budaya yang bersifat universal dan terdapat dalam sebagian besar etnis di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam kebudayaan etnis Tionghoa sendiri terdapat salah satu cara dalam memberi penghormatan kepada leluhur atau nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Salah satu tradisi penghormatan tersebut dikenal dengan sebutan Qing Ming untuk memberikan penghormatan kepada leluhur dengan membersihkan kuburan, menghias kuburan, dan membakar kertas (cua) yang beragam jenisnya dan berdoa kepada leluhur untuk meminta keselamatan. Namun saat ini tradisi Qing Ming dan sebutan lainnya sudah banyak ditinggalkan dan generasi muda banyak yang tidak paham dengan esensi tradisi ini.
Dari adanya fenomena ini, pada hari Jumat tanggal 5 April tahun 2024 pukul 15.00 - 17.20 diadakan festival Qing Ming yang didesain dengan dialog lintas etnis dengan mengusung tema "Merawat Tradisi dan Menyuburkan Kebudayaan". Qing Ming dalam bahasa Mandarin berarti cerah dan terang karena sinar matahari yang begitu terik menjadi salah satu point penting dalam tradisi Qing Bing. Menurut Yeremia dan Andayani (2020) Cheng Beng sendiri jatuh pada rentang masa sepuluh hari menjelang dan sesudah tanggal 4-6 April setiap tahunnya berdasarkan pada penanggalan kalender Cina yang disesuaikan dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu. Biasanya etnis Tionghoa yang merantau jauh dari kampung halamannya akan berusaha untuk dapat pulang agar dapat melakukan tradisi Qing Bing kepada para leluhur mereka karena mereka percaya akan mendapatkan keberuntungan dalam setiap usaha dan kegiatan yang dilakukan. Tidak hanya para leluhur saja yang diziarahi namun juga dapat berziarah ke kuburan keluarga dekat yang telah meninggal, seperti ayah, ibu, adik, kakak, maupun nenek atau kakek. Ketika perayaan Cheng Beng berlangsung, setiap makam keluarga dibersihkan dan diperbaiki agar tampak elok.
Saat festival kegiatan Qing Ming dilakukan ada lima narasumber yang diundang yakni Djoko Supriatno (budayawan Jawa), Redy Saputo (Ketua Peace Leader Indonesia), Erlinda Situmorang (Suku Batak), Yao Hongling (Native China), Rudy Santoso (Perhakkas Jember). Masing-masing nara sumber menjelaskan bagaimana tradisi ziarah ke makam leluhur dari masing-masing sukunya dan dari dialog ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa ziarah kubur esensinya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sebagai bakti anak kepada orang tua. Tradisi ini harus senantiasa kita rawat dan kita suburkan kembali budaya ini sehingga dalam dialog ini dihadiri 45 mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Kelas 18 Universitas Jember, sanak saudara dari Almarhum Bapak Anwar Sausan, dan kerabat dekat. Dari kegiatan ini mahasiswa menjadi paham bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika memang benar-benar relevan dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, artinya meskipun tradisi ziarah ke makam leluhur itu beda nama, waktu, dan upacara kegiatannya namun esensinya sama yakni bentuk penghormatan kepada leluhur dan sebagai bakti seorang anak kepada orang tua.
Kegiatan festival Qing Ming diawali dengan melihat proses ziarah ke makam Bapak Anwar Sausan yang ada di kompleks makam keluarga Jalan Otista Nomor 27 Kelurahan Mangli Kabupaten Jember. Bapak Anwar Sausan merupakan founder Yayasan Pendidikan Rukun Harapan dan Ketua Hakka Jember. Beliau merupakan sosok yang sangat mencintai pendidikan dan punya dedikasi yang tinggi untuk mengembangkan tradisi kebudayaan. Andini Khuril Jannah selaku Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Kelas 18 Universitas Jember menyatakan bahwa: saya mendapat banyak pengetahuan baru dengan adanya kegiatan festival ini karena sebelumnya tidak pernah tahu jika dalam budaya Tionghoa juga ada tradisi seperti ini layaknya di suku Jawa. Keluarga besar Almarhum yang diwakili oleh Susanti Tanojo juga mengatakan: saya sangat senang dan terharu bisa merayakan kegiatan Qing Ming dengan adik-adik mahasiswa dengan jumlah 45 orang yang selama ini tidak pernah terjadi di keluarga mana pun sambil mengingat almarhum Bapak Anwar Sausan yang sangat senang jika ada kegiatan pendidikan yang mengusung tema budaya. Lebih lanjut Susanti Tanojo juga menambahkan bahwa: Esensi berbakti dan menghormati orang tua atau leluhur bukan hanya setelah meninggal, tapi juga saat orang tua masih hidup yang dapat kita lakukan dengan meluangkan waktu dan menunjukkan bakti kita kepada mereka. Kegiatan festival Qing Ming diakhiri dengan buka puasa bersama sehingga dari kegiatan ini kita juga dapat melihat potret nyata bagaimana toleransi bisa terbangun dengan adanya pelaksanaan kegiatan festival Qing Ming. Kegiatan festival Qing Ming ini terlaksana dengan baik dengan menggandeng Peace Leader Indonesia, Hakka, Yayasan Rukun Harapan, dan Forum Pembauran Kebangsaan Kabupaten Jember. Â
Â
Penulis: Setyowati Karyaningtyas                       Â
 Dosen Fisip dan Pengajar MKWK Universitas Jember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H