Mohon tunggu...
Tyas Latufa
Tyas Latufa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Hobi saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/Puu-Viii/2010 (Status Anak Luar Nikah)

22 September 2024   09:19 Diperbarui: 22 September 2024   09:33 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang Kasus
Kasus ini berawal dari permohonan judicial review terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya." Pemohon, Machica Mochtar, mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal ini, karena dianggap diskriminatif terhadap anak luar kawin.
 
Putusan Mahkamah Konstitusi
Pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertentangan dengan UUD 1945 jika ditafsirkan bahwa anak luar kawin tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. MK memutuskan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan perdata tidak hanya dengan ibunya, tetapi juga dengan ayah biologisnya sepanjang bisa dibuktikan melalui ilmu pengetahuan (misalnya tes DNA).
 
Analisis dengan Cara Pandang Positivisme Hukum
Dalam menganalisis putusan ini dari perspektif filsafat hukum positivisme, beberapa poin penting yang bisa dijelaskan adalah:
 
1. Legalitas Formal dan Kewenangan Institusi  
Dalam tradisi positivisme hukum, hukum dipahami sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas yang sah. Putusan MK ini berada dalam bingkai kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review. Artinya, putusan ini sah secara hukum karena MK bertindak sesuai dengan kewenangannya yang diakui oleh sistem hukum yang berlaku.
 
2. Kepastian Hukum  
  Positivisme hukum sangat menekankan kepastian hukum, di mana hukum harus dapat diprediksi dan diakses oleh warga negara. Pasal 43 ayat (1) sebelumnya memberi kepastian bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Namun, dengan putusan MK, kepastian hukum berubah, dan anak luar kawin kini bisa memiliki hak perdata dengan ayah biologisnya. Meski ini mungkin dianggap mereduksi kepastian hukum sebelumnya, Mahkamah berargumen bahwa interpretasi hukum ini lebih adil bagi anak.
 
3. Pemisahan antara Hukum dan Moral
Salah satu prinsip utama positivisme hukum adalah pemisahan hukum dari moral. Menurut positivisme hukum, hukum adalah apa yang "ditetapkan oleh otoritas yang sah", bukan apa yang dianggap "baik atau buruk secara moral." Dalam kasus ini, meskipun ada argumen moral bahwa anak-anak berhak mendapatkan pengakuan dari ayah biologis mereka, dari sudut pandang positivis, perubahan ini hanya sah jika diakui secara formal oleh otoritas (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi).
 
4. Kepatuhan terhadap Peraturan yang Ada
 Positivisme hukum mengajarkan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum yang telah disahkan dan diakui oleh institusi yang berwenang, dan tidak tergantung pada penilaian moral atau keadilan individual. Sebelum putusan MK, hukum yang berlaku adalah Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang membatasi hubungan perdata anak luar kawin dengan ibunya saja. Setelah judicial review, hukum yang berlaku adalah yang telah diubah melalui keputusan Mahkamah. Dalam perspektif positivis, yang penting adalah kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku, tidak peduli apakah aturan tersebut dipandang adil atau tidak dari sudut moral.
 
Kesimpulan
Dari sudut pandang positivisme hukum, putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini sah secara hukum karena dilakukan oleh otoritas yang memiliki kewenangan. Meskipun putusan ini mungkin memicu perdebatan terkait keadilan moral, positivisme hukum akan fokus pada legalitas formal dan penerapannya dalam sistem hukum yang diakui.

Apa mazhab hukum positivesme?
Mazhab hukum positivisme adalah aliran filsafat hukum yang berpendapat bahwa hukum harus dipahami sebagai aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, terlepas dari nilai-nilai moral atau prinsip keadilan. Positivisme hukum memisahkan hukum dari moralitas, dengan menekankan bahwa hukum adalah produk dari kehendak manusia (man-made law), bukan hasil dari nilai-nilai moral yang inheren atau prinsip-prinsip keadilan universal.
 
Karakteristik utama mazhab hukum positivisme:
 
1. Hukum Sebagai Fakta Sosial: Menurut positivisme, hukum adalah produk keputusan otoritas yang berwenang, seperti negara, dan bukan sesuatu yang bersifat alamiah atau berasal dari moralitas.  
2. Pemenuhan Prosedur Resmi: Hukum diakui dan sah apabila ia dibuat sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh sistem hukum suatu negara. Jadi, suatu aturan dapat dianggap hukum jika diproduksi oleh otoritas yang sah melalui proses formal.
3. Pemutusan Hubungan dengan Moralitas: Positivisme hukum berpendapat bahwa hukum tidak harus mencerminkan prinsip-prinsip moral. Hukum yang buruk (misalnya, hukum yang tidak adil) tetap dianggap hukum jika dibuat melalui prosedur yang benar.
4. Sistem Hukum yang Mandiri: Hukum dipandang sebagai sistem yang otonom, yang bisa dipelajari, diinterpretasikan, dan diterapkan secara terpisah dari pertimbangan moral atau nilai-nilai sosial.
5. Kepatuhan pada Peraturan Tertulis: Dalam positivisme hukum, aturan-aturan tertulis (seperti undang-undang) memiliki otoritas tertinggi. Pengadilan dan penegak hukum harus menerapkan hukum sebagaimana tertulis, tanpa memasukkan interpretasi pribadi atau pertimbangan moral.
 
 
 
 
Tokoh-tokoh utama positivisme hukum:
1. John Austin: Ia memperkenalkan konsep hukum sebagai "perintah dari penguasa yang berdaulat" (command theory). Baginya, hukum adalah perintah yang dikeluarkan oleh pihak yang berdaulat kepada warganya, yang disertai dengan ancaman sanksi.
2. H.L.A. Hart: Salah satu filsuf hukum paling berpengaruh dalam positivisme. Hart memperkenalkan perbedaan antara "hukum primer" (aturan yang mengatur tindakan) dan "hukum sekunder" (aturan yang mengatur bagaimana aturan hukum dibuat, diubah, atau dihapus).
3. Hans Kelsen: Kelsen mengembangkan teori "hukum murni" (pure theory of law) yang berpendapat bahwa hukum harus dipisahkan sepenuhnya dari etika, politik, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Perdebatan dengan Aliran Lain: Positivisme sering diperdebatkan oleh aliran hukum alam (natural law), yang berpendapat bahwa hukum harus mencerminkan prinsip-prinsip moral yang mendasar dan universal. Bagi penganut hukum alam, hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sah.
Mazhab hukum positivisme telah menjadi fondasi banyak sistem hukum modern, terutama yang berbasis civil law atau hukum tertulis, seperti yang ditemukan di banyak negara Eropa Kontinental dan Indonesia.
 
Argument saya tentang mazhab hukum positivism dalam hukum di Indonesia
Mazhab hukum positivism memang memiliki tempat yang kuat dalam system hukum Indonesia, terutama dalam aspek aturan tertulis dan legalitas formal. Namun, pendekatan ini tidak selalu memadai dalam mengatasi isu-isu yang melibatkan moralitas, keadilan social, serta pluralitas hukum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, system hukum Indonesia tampaknya perlu menyeimbangkan antara pendekatan positivism dengan prinsip keadilan substantive dan nilai-nilai seperti pancasila, hukum adat, dan hukum islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun