Hai lama sekali saya tidak menulis di Kompasiana. Apa kabar semua? Kali ini saya mau menulis untuk mendukung upaya pengungkapan kasus, perlindungan korban dan atau tanpa saksi, dan penegakan hukum.
Kenapa? Soalnya korban baik yang masih hidup (penyintas) sering kali dipersalahkan, kasusnya ditutup, dipaksa menikah dengan yang sudah memperkosanya, mengalami akibat Psikologis yang bisa membuatnya menjadi penyandang disabilitas mental karena traumatik atas apa yang dialaminya.
Saya perduli, apalagi ini menyangkut psikologi manusia, khususnya perempuan yang sering kali dipersalahkan atas apa yang menimpanya.
Seperti kekerasan dalam rumah tangga, suami memukul istri, suami tidak bertanggung jawab menafkahi istri, ibu atau ayah memukul anak, membentak anak  dengan perkataan kurang baik bahkan cenderung berkata kasar, menghina, membatasi gerak anak.
Ya, suami memukul istri yang disalahkan adalah istri yang tidak bisa melayani atau tidak menurut. Ya, anak diapakan saja sama orang tuanya karena kedudukan orang tua selalu benar karena punya pengalaman dan pengetahuan yang banyak,
Ya, perempuan selalu jadi sosok yang lemah yang selalu salah.
Korban perdagangan manusia (human trafficking) yang dibuat bingung seperti mau pulang tapi dibuat nyasar lalu dijemput kembali oleh agennya sehingga dikembalikan kesana ketempat dimana dia dijual dan dijebak dengan hutang menumpuk untuk dijual.
Mungkin para penyintas bingung mau mengadu kemana?
Waktu seminar menganai penyuluhan hukum di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), ada urutan untuk mengadu, dimulai dari polisi, namun lengkapnya saya lupa.
Yang saya ingat bisa mendapatkan konsultasi hukum gratis di Lembaga bantuan hukum (LBH) yang ada di dekat RSCM Jakarta. Adapun website LBH bisa diakses di https://www.bantuanhukum.or.id/web/.
Yang paling penting dari seminar itu adalah belum adanya sistem untuk pengaduan, perlindungan, penegasan hukum dan penegakan hukum.