Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini menjadi sorotan setelah namanya masuk dalam nominasi "Corrupt Person Of The Year 2024" oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Pada awal Januari 2025, OCCRP mengunkapkan bahwa Jokowi termasuk dalam daftar nominasi pemimpin terkorup tahun 2024, bersanding dengan tokoh internasional lainnya. Hal ini tentu menjadi sorotan publik karena masuknya Jokowi ke dalam daftar tersebut. OCCRP sendiri mengaku tidak memiliki bukti langsung yang mengaitkan Jokowi dengan korupsi demi keuntungan pribadi selama ia menajabat sebagai presiden, namun hasil nominasi memang berdasarkan opini publik yang pastinya tidak bisa dikendalikan.
Pengamat politik, Rocky Gerung juga menyebut pihak-pihak pembela Jokowi seharusnya memahami hal ini, bukannya justru mempertanyakan kredibilitas lembaga internasional OCCRP ini.
"OCCRP itu lembaga riset internasionala yang basisnya opini publik" ujarnya.
"Para juri menghargai nominasi warga negara" kata penerbit OCCRP Sullivan dalam pernyataan situs web resminya.
Menurutnya, ada persepsi kuat di masyarakat tentang adanya korupsi meski tidak ada bukti yang mendukung.
OCCRP juga menyatakan bahwa rata-rata masyarakat mengatakan bahwa di masa pemerintahan Jokowi secara signifikan melemahkan KPK di Indonesia. Jokowi juga diseut telah menggunakan lembaga negara untuk melancarkan jalan putra sulungnya yang kini menjadi lolos dalam kandidat Wakil Presiden Pilpres 2024.
Menanggapi hal tersebut, Jokowi membantah tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai fitnah serta menantang OCCRP untuk memberikan bukti konkret. Ia pun menegaskan bahwa selama masa pemerintahannya, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam praktik korupsi.
Meskipun tidak ada bukti langsung, persepsi publik terhadap korupsi dapat mempengaruhi legitimasi pemerintah. Hal ini menunjukkan pentingnya pemimpin untuk menjaga integritas dan menjalankan tugas dengan etika yang tinggi, serta berkomitmen terhadap prinsip hukum yang adil dan transparan. Respon warga dalam menghadapi hal ini sangat beragam, termasuk pendukung Jokowi yang mengatakan bahwa OCCRP hanya "suara barisan sakit hati" yang tidak bisa menerima kekalahan politik, sementara kritik terhadap meningkatnya kasus korupsi di Indonesia tetap meluas. Situasi ini mencerminkan ketegangan antara dukungan politik dan sudut pandang publik.
Dalam perspektif kode etik, kasus ini menunjukkan pentingnya bagi pemimpin untuk menjaga reputasi dan integritas mereka. Masyarakat berhak menuntun akuntabilitas dari pejabat publik, terutama ketika menyangkut isu-isu sensitif seperti korupsi. Kasus nominasi Jokowi oleh OCCRP menggambarkan tantangan serius dalam penegakkan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, Jokowi seharusnya mengambil tindakan untuk memberantas korupsi dan memperkuat KPK supaya publik dapat lebih percaya kepada pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H