Berniat mengetahui tentang kedudukan bahasa Indonesia di tanah air sendiri, sampailah penulis di sebuah situs milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tercantum di dalamnya mengenai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang notabene merupakan tes untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia melaui tes tertulis dan lisan yang sasarannya adalah karyawan instansi pemerintah maupun swasta. Timbul pertanyaan apakah uji ini cukup efektif dan menarik untuk dilakukan sementara bahasa Indonesia semakin termarginalkan di tengah kompetisi global dan justru tidak dianggap lebih penting untuk ditonjolkan dibandingkan bahasa asing.
Bahasa Indonesia, Bahasa Nasional, Karakter Bangsa
Bahasa merupakan ciri utama dari identitas manusia serta simbol nasional dan identitas etnik yang kuat. Ketika mendengar seseorang berbicara, kita dapat langsung menduga gender, level pendidikan, umur, profesi dan asal orang tersebut (Spolsky, 1999). Sebagai bahasa nasional yang mempunyai kedudukan sebagai lambang kebanggaan, lambang identitas, alat pemersatu dan alat penghubung antardaerah, maka semakin bahasa Indonesia memasyarakat dan mengakar dalam diri setiap warganya, semakin kuatlah jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Sayangnya, terkadang justru masyarakat Indonesia tidak merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Kurang intensifnya pelatihan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang belajar di Indonesia masih kerapkali kita temui di berbagai daerah. Hal ini berkebalikan dengan Jepang, dimana negeri sakura tersebut mewajibkan pelatihan bahasa Jepang bagi warga negara asing yang belajar di negeri tersebut. Masyarakat Jepang merasa bangga dengan bahasa yang mereka gunakan, dan justru dengan arogansi bahasa itulah, kita dapat melihat cerminan jati diri dan karakter yang kuat dari bangsa tersebut.
Terlalu Banyak Persaingan
Selain sebagai bahasa nasional, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pun semakin termarginalkan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang berkedudukan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi terasa belum maksimal digunakan. Bahasa Indonesia seperti kurang menarik untuk dieksplorasi oleh para penggunanya. Kompetisi global membuat bahasa asing, contohnya bahasa Inggris makin marak diminati, berkebalikan dengan minat terhadap bahasa Indonesia. Menurut Alwasilah (2007), tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah mempersiapkan pelaku dan pelibat komunikasi abad ke-21 sebagai abad kesejagatan dan persaingan. Bahkan dikatakan pula penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris adalah strategi kebudayaan agar mereka dapat bersaing dengan bangsa lain. Kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang menyebabkan perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola interaksi pelaku pasar dan dengan keterbatasan pembatasan budaya asing yang masuk, perusahaan multinasional berlomba-lomba untuk menerapkan standar kompetensi penguasaan bahasa asing. Bahasa Indonesia dianggap tidak telalu penting untuk diperhatikan, distandardisasi dan dipelajari lebih dalam. Padahal menurut Suhendra dan Supinah (1997), seperti halnya tujuan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang telah dibahas di atas, sebagai bahasa resmi  kenegaraan, penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru dan kenaikan pangkat.
Sementara di dunia kerja bahasa Indonesia bersaing dengan bahasa asing, lain halnya dengan lingkungan remaja yang telah dirambahi oleh fenomena bahasa gaul dan variasinya. Alasan kreatifitas, keisengan dan eksistensi suatu kelompok membuat bahasa gaul dan variasinya telah semakin diminati, tidak hanya di Jakarta sebagai kiblat bahasa gaul, berkat media sosial, bahasa gaul telah banyak digunakan di luar Jawa. Bahasa tidak baku pun semakin sering digunakan. Bahasa tidak baku yang dipakai sehari-hari bakan kerapkali dapat kita saksikan dalam wawancara dan gelar wicara yang ditayangkan televisi nasional.
Peran Kita sebagai Warga Negara
Suhendar dan Supinah (1997) menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa yang tidak diperlukan disebabkan oleh kekaburan pembedaan kedudukan. Kedudukan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional menjadi semakin kabur jika bercampur aduk dengan bahasa Ibu dan bahasa asing. Pendidikan bahasa Indonesia seorang anak dimulai dari lingkungan keluarga. Selain bahasa ibu yang sering digunakan orangtua sebagai bahasa pengantar, sebaiknya orang tua dapat memperkenalkan penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Penanaman bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan sebagai penghubung dapat dilakukan semenjak dini, sementara bahasa ibu tetap dapat dilestarikan dan diajarkan berdasarkan kondisi lingkungan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan juga semakin kabur dengan tenggelamnya karya-karya sastra, baik klasik maupun modern di tengah gempuran globalisasi. Merujuk pada apa yang dilakukan pemerintah kolonial yang membendung bahasa melayu pasar dengan mempromosikan bahasa melayu tinggi dalam bentuk karya sastra melalui Balai Pustaka, hal yang sama dapat dilakukan saat ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Karya sastra modern dan klasik dapat dipromosikan di berbagai acara seperti pada bulan bahasa. Bulan bahasa sendiri pada kenyataannya tidak banyak diketahui oleh khalayak luas. Dalam insitusi pendidikan, penghayatan anak dalam berbahasa Indonesia antara lain disebabkan oleh kurangnya minat baca dan tulis. Memperbanyak praktek mengarang dan membaca buku berbahasa Indonesia, misalnya dalam memperkenalkan karya-karya sastrawan dari era ke era harapannya dapat menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa sekaligus sastra Indonesia. Pembentukan majalah sastra berskala nasional sebagai wadah ekspresi kecintaan dan pelestarian bahasa  dan budaya Indonesia, layaknya pembentukan majalah Angkatan Pujangga Baru pada tahun 1933 pun dapat dilakukan dengan diinisiasi oleh pemerintah atau para sastrawan dan budayawan Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering berkiblat dan menyerap istilah asing, akan tetapi, dalam berbagai makalah ilmiah, sering dijumpai penggunaan bahasa asing yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi pembaruan istilah-istilah asing yang telah dilakukan pemerintah dan dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kerjasama institusi pendidikan dengan lembaga pemerintahan, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dapat diupayakan, sehingga guru berbagai mata pelajaran dapat memperbarui dan berbagi istilah baru untuk diperkenalkan terhadap murid-murid. Pun sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, guru perlu menerapkan bahasa Indonesia secara baik dan benar sebagai bahasa penghubung ketika mengajar, walaupun diawali dengan penggunaan kata-kata yang sederhana. Adanya uji kompetensi terstandar, dalam hal ini tes uji kemahiran berbahasa Indonesia, dapat dilakukan per jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga jenjang sarjana. Uji ini dapat dilakukan bersinergi dengan ujian akhir nasional dan disesuaikan dengan kurikulum pembelajaran. Hingga saat ini, berdasarkan data pada situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, uji Kemahiran Berbahasa Indonesia kebanyakan hanya diikuti oleh guru-guru bahasa Indonesia, dan tidak terhadap murid.
Pengenalan bahasa dan sastra Indonesia terhadap generasi muda dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih menyenangkan, seperti perlombaan atau kompetisi. Berkembang dari perlombaan menulis atau membaca puisi, dapat pula diadakan perlombaan mengarang dan membaca karya tulis, cerita pendek maupun karya sastra lain semenjak di bangku sekolah dasar. Â Penghargaan untuk pendidik yang telah dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa saat ini merupakan upaya yang baik agar bahasa Indonesia dapat lebih dihargai dengan semangat kompetisi. Upaya lain seperti pemilihan duta bahsa pun patut diapresiasi, walaupun penulis merasa kurangnya sosialisasi terhadap hal tersebut. Sebagai generasi muda, kreatifitas patutlah diapresiasi asalkan tidak berlebihan. Keingintahuan anak muda yang besar sepatutnya dapat pula disalurkan pada berbagai identitas bangsa Indonesia, termasuk bahasa di dalamnya. Peran media massa dan elektronik pun dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk mensosialisasikan program-program pemerintah sehingga bahasa Indonesia lebih memasyarakat, tapi juga menjadi contoh dan panutan dalam penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar.
Referensi
Alwasilah, Chaedar. 2007. Perspektif PendidikanBahasa Inggrisdi Indonesia: Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV. Andira.
Spolsky, B. 1999. Second-language learning. In J. Fishman (Ed). Handbook of language and ethnic identity (pp. 181-192). Oxford: Oxford University Press.
Suhendar dan Supinah. 1997. Bahasa Indonesia Pengajaran dan Ujian Keterampilan Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya.
Suhendar dan Supinah. 1997. MKDU Bahasa Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H