Alenia consistently produce insightful educational movie. This year, they bring us back to Papua again. The moment and the message "coincidentally" match with recent conflict we're having there and the bigger intolerance issue that we are facing these days. Definitely not to be missed :) http://www.21cineplex.com/di-timur-matahari-movie,2852,02DTMI.htm
Celebrating diversity and working on unity! That's the message I get from this movie. Adegan pertama dibuka dengan nuansa humor dimana Mazmur sang bocah SD - tokoh utama dalam film ini, nyaris tewas tertabrak motor. Mengapa adegan tragis kok dibilang humor? Cari tahu jawabannya di filmnya, yahh. #blog_tak_berbayar
Selanjutnya, scene demi scene membawa kita pada kenyataan di belahan Timur Indonesia. Dari yang indah, sampai kemungkinan terburuk. Dari nihilnya kehadiran seorang guru, transaksi jual beli di pasar tradisional, mahalnya harga sembako, shock teknologi yang tidak pada tempatnya, pencarian lapangan pekerjaan, perselisihan antar suku, sampai praktik KDRT komplet disajikan dalam film ini.
Dengan durasi hampir dua jam, alur cerita terasa berjalan lambat. Sedikit kebosanan terasa akibat setting adegan yang kurang variatif. Lokasi pengambilan gambar berputar di situ-situ saja. Gunung, jembatan, sungai, apartemen, lembah, gunung, padang rumput, sungai, pasar, desa,gereja, sekolah, dll. Mungkinkah karena Papua luas dan medannya cukup sulit, sehingga pengambilan gambar tidak banyak berpindah tempat?
Namun toh, kesederhanaan tanah Papua yang terbalut dalam keindahannya tetap bikin penonton menahan napas setiap kali panorama Papua ditampilkan.
Dengan setting, properti, dan kostum yang terbilang cukup simple, film ini berhasil menampilkan kompleksitas permasalahan Papua. Kalau dulu (bahkan mungkin sampai sekarang) kita masih sering menganggap koteka sebagai bahan candaan, di film ini siap-siap lihat penduduk berkoteka yang menjadi bagian keragaman Indonesia.
Pemilihan kostum sepertinya dipertimbangkan dengan baik oleh tim produksi. Pasalnya, sebagian penduduk desa digambarkan sudah berpakaian lengkap layaknya warga kota besar, sementara lainnya masih menggunakan pakaian tradisional: koteka itu tadi. There must be a reason for this and I guess this is the reality.
Film ini bikin saya melontarkan pertanyaan yang sama berulang-ulang: "Beneran nih masih ada yang kayak gini di Indonesia? Di dunia?"
Banyak ketidakpercayaan muncul akibat kejutan-kejutan seru, sadis, ironis. Misalnya, tradisi memotong jari tangan sendiri ketika seseorang menjadi janda, atau perang suku yang menggunakan panah, face-to-face selayaknya membunuh buruan. Dan di dalam setiap konflik, anak-anak menjadi korban yang paling rentan sekaligus berpotensi sebagai pemersatu.
Anak-anak yang menjadi pusat dari film ini. Mereka dengan wujud yang masih cilik ternyata bisa memiliki hati yang lebih besar dari orang dewasa dalam menerima perbedaan dan mengatasi konflik. Mengutip salah satu dialog di film ini, "Tidak ada masalah yang terlalu besar yang tidak bisa diselesaikan dengan kasih." Anak-anak pula yang membuktikan keampuhan kalimat ini.
Kasih itu tidak melulu digambarkan dengan dialog berbahasa Indonesia. Banyak adegan yang menggunakan bahasa setempat, termasuk lagu-lagu daerah yang dinyanyikan dengan bahasa aslinya tanpa subtitle terjemahan. Secara khusus, saya menikmati adegan anti klimaks yang menggunakan lagu berbahasa daerah sebagai solusi permasalahan. Memang penonton dibuat bertanya-tanya akan maknanya, but that's the beauty of it: we realize the meaning and impact of the song without understanding the lyric.