Mohon tunggu...
Tya Iswari
Tya Iswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Profesi Psikologi

Humaniora Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keengganan Beropini dan Akar Kuat Budaya Lokal di Dalamnya

1 November 2022   16:00 Diperbarui: 1 November 2022   15:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Opini adalah perwujudan dari pola pikir individu. Kita bisa melihat bagaimana individu menyoroti suatu fenomena dari opininya. Maka, beropini seharusnya merupakan simbol dari kebebasan berpikir. Kita bebas untuk memandang suatu fenomena berdasarkan pemahaman kita dan apa yang kita yakini. Namun ternyata masih banyak orang-orang yang enggan untuk beropini.  

Saya mengira fenomena enggan beropini ini akan berhenti ketika kita beranjak dewasa umur 18 tahun, di mana  pada usia tersebut manusia seharusnya telah memiliki pemahamannya sendiri karena telah melalui fase pergulatan identitas saat masa remaja (Erikson & Erikson, 1998 dalam Chung, 2018). Namun, fenomena enggan beropini ini ternyata masih banyak saya temui di kalangan mahasiswa magister yang secara usia sudah terhitung dewasa, dan secara keilmuan seharusnya mereka sudah mendapatkan basis keilmuan yang mumpuni saat menjadi mahasiswa sarjana. Padahal, selama proses pembelajaran, hampir setiap dosen sudah membujuk mahasiswa untuk beropini, hingga akhirnya dosen tidak punya pilihan lain selain menunjuk mahasiswa supaya suasana belajar di dalam kelas menjadi lebih interaktif. 

Lantas, apa yang membuat para mahasiswa enggan beropini? 

Perilaku manusia terbentuk dari berbagai macam faktor, salah satunya lingkungan sosial. Dalam suatu lingkungan sosial, selalu ada budaya yang menyokong perilaku orang-orang di dalamnya. Pada lingkungan sosial atau masyarakat Indonesia, ada berbagai macam budaya yang membentuk perilaku masyarakatnya, salah satunya budaya ewuh pakewuh, di mana budaya tersebut membiasakan masyarakatnya untuk menahan diri ketika berhadapan dengan seseorang yang lebih tua, seseorang dengan jabatan lebih tinggi atau seseorang yang lebih berpengaruh (Wibowo dkk., 2019). 

Budaya ewuh pakewuh pada mulanya berasal dari suku jawa, namun karena sebanyak 40,22% masyarakat Indonesia didominasi oleh suku jawa, maka budaya ewuh pakewuh pun juga diadaptasi oleh suku di Indonesia selain suku Jawa (BPS, 2010 dalam Ciputra, 2022). Budaya ewuh pakewuh diberdayakan sebagai wujud dari sikap sopan santun dan hormat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia, sehingga budaya tersebut menjadi landasan dalam perilaku keseharian masyarakat Indonesia (Wibowo dkk., 2019). 

 Pada lingkungan sosial perguruan tinggi, dosen kerap dianggap sebagai sosok yang lebih superior karena berusia lebih tua dan dipandang lebih berilmu dari pada mahasiswa yang tengah menuntut ilmu. Budaya ewuh pakewuh lantas mendominasi alur berpikir dari mahasiswa, membuat mahasiswa pada akhirnya menjadi enggan untuk melakukan hal-hal yang dianggap “melangkahi” dosen, seperti contohnya beropini. 

Hal ini sungguh sangat disayangkan karena dari pertukaran opini lah akan terjadi suatu pertukaran sudut pandang, yang nantinya akan menjadi suatu sumbangsih pengetahuan baru bagi individu. Bukankah begitu hakikat dari proses pembelajaran?  

Selain budaya ewuh pakewuh, budaya yang cukup berpengaruh dalam membentuk perilaku enggan beropini adalah budaya pendidikan di Indonesia, budaya yang lebih menekankan pada tercapainya hasil dari pada proses. Fenomena tersebut bisa kita lihat pada beberapa sekolah di Indonesia yang masih menerapkan sistem “katrol nilai”, yang artinya sekolah tidak peduli proses apa yang dilalui oleh siswa asalkan nilai siswa bisa sesuai dengan kriteria minimal. 

Di sisi lain, guru yang melakukan sistem “katrol nilai” pada siswa juga tidak memiliki pilihan lain karena ada tuntutan dari sekolah untuk meluluskan seluruh siswa bagaimanapun hasilnya.

Bobroknya budaya tersebut bukan tidak mungkin akan membentuk suatu pola pikir pada lingkungan pendidikan, seperti guru dan teman-teman sekolah serta lingkungan keluarga untuk menganggap bahwa mendapatkan nilai buruk atau gagal dalam belajar adalah hal yang buruk bahkan memalukan. Maka, tidak jarang kita menemui fenomena di mana ketika siswa mencoba beropini namun salah, lantas opininya ditertawakan oleh teman-teman belajarnya di kelas.

Guru yang melihat hal tersebut pun tidak dapat berbuat banyak. Ataupun keluarga yang serta merta akan memarahi anak jika mendapatkan nilai kurang memuaskan. Hal ini dapat menjadi indikasi kurang baik untuk membentuk mental belajar dari individu. Siswa akan terbiasa melihat bahwa hakikat bersekolah dan belajar hanya terbatas pada mendapatkan nilai bagus dan keberhasilan saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun