Provinsi yang dikenal akan penghasil komoditas pisang serta Pelabuhan Utama Merak di ujung paling selatan Pulau Sumatera, yang disebut dengan “Negeri Ruwa Jurai”, ialah Provinsi Lampung.
Terbagi menjadi dua kelompok, yakni Masyarakat Lampung Pepadun yang mendiami daerah pedalaman seperti Way Kanan, Tulang Bawang, dan Gunung Sugih, serta Masyarakat Lampung Sai Batin yang disebut juga Lampung Pesisir karena mendiami daerah pesisir pantai seperti Kalianda, Liwa, Pesisir Tengah, Utara, dan Selatan.
Kedua kelompok masyarakat ini menjadi makna dibalik filosofi “Sai Bumi Ruwa Jurai”, atau dengan artian “Satu bumi dua jiwa”. Pembeda dari kedua kelompok Masyarakat Lampung ini sangat kentara, dimulai dari segi bahasa, tempat tinggal, silsilah keturunan, juga adat istiadat. Namun, salah satu ciri khas yang sudah pasti menjadi pemersatu kedua kelompok masyarakat ini, yaitu pakaian adat.
Pakaian adat Masyarakat Lampung adalah kain tapis. Ditinjau dari sejarah penciptaannya, kain tapis sudah ada sejak Abad ke-2 Masehi. Motif dan corak dari kain tapis beragam jenis dan macam sesuai dengan penggunaannya.
Contohnya Tapis Jung Sarat, yang dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat, Tapis Raja Medal, digunakan oleh kelompok istri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti pengambilan gelar Pangeran dan Sultan, Tapis Laut Andak, yang dipakai oleh Muli Cangget atau gadis penari pada acara adat cangget, dan masih banyak lagi jenis-jenis kain tapis lain dengan penggunaan yang berbeda-beda. Sejak zaman terdahulu, dalam setiap rangkaian upacara, kain tapis tidak pernah tertinggal untuk dikenakan sebagai simbol dan adat kebudayaan Lampung.
Untuk kaum perempuan, penggunaan kain tapis biasanya digunakan sebagai penutup badan yang berbentuk seperti baju kurung dan bawahan penutup berupa kain tapis atau senjang yang dibentuk seperti rok panjang. Untuk para kaum pria, kain tapis ini digunakan sebagai ikat kepala atau kopiah. Untuk kelengkapan busana pakaian adat, selalu digunakan ketika menghadiri suatu prosesi adat Lampung seperti pernikahan, prosesi pemberian gelar atau Juluk Adok, upacara adat dan lain-lain.
Tapis merupakan bentuk filosofi dan keyakinan yang kuat akan keselarasan lingkungan kehidupan Masyarakat Lampung dengan Sang Pencipta. Dalam proses pembuatannya yang bertahap mendekati kesempurnaan dalam setiap sulaman benang emas yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, menjadikan kain tapis ini sebagai kain yang istimewa dan tidak banyak masyarakat yang mampu memproduksikan kain tapis di pasaran.
Kurangnya pemahaman dan pengenalan akan seni pembuatan kain tapis oleh Pemerintah Provinsi Lampung kepada generasi muda juga sangat berpengaruh. Karena saat ini, mayoritas generasi muda tidak tahu apa saja kebudayaan yang ada di daerahnya. Bersikap acuh sebab tidak ada penekanan dalam pendidikan seni dan kebudayaan yang mereka dapatkan dari sekolah.
Dampak dari hal tersebut adalah semakin meredupnya industri kain tapis terutama di daerah-daerah pelosok Lampung. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada tindakan nyata selanjutnya, lama-kelamaan eksistensi dari kain tapis akan memudar. Praktik nyata akan budaya pembuatan kain tapis seharusnya ada di setiap mata pelajaran tambahan di sekolah, agar generasi muda, khususnya muda-mudi Lampung mengetahui akan ciri khas daerahnya dan seni pembuatan kain tapis.
Pemerintah dan Dinas Pendidikan Kebudayaan Provinsi Lampung sudah sepatutnya memberikan ‘wadah’ dan kontribusinya langsung dalam bantuan segala bidang bagi setiap sarana pendidikan. Satu dari sekian generasi muda mungkin saja akan menjadi seniman tapis yang akan menaikkan eksistensi kebudayaan kain tapis yang mampu bersanding dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia hingga kancah Internasional.
Dalam setiap kesempatan, kain tapis sendiri selalu digunakan dan diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat Lampung kepada anak-cucunya.