Pemkab Pidie dalam ini hanya menyediakan lokasi penampungan sementara, untuk selebihnya Pemkab Pidie menyerahkan penanganan pengungsi Rohingya kepada masyarakat, setelah beberapa pekan tidak ada keputusan dari pemerintah pusat.
Wahyudi juga mengatakan terjadinya unjuk rasa masyarakat akibat dari tidak diindahkannya budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar. Seperti buang hajat di tambak maupun di kebun. Hasil kebun warga banyak yang hilang, ternak masyarakat keluar dari penangkaran karena di buka pagar sama Pengungsi.
Akibatnya menimbulkan keresahan di masyarakat, sehingga menimbulkan aksi penolakan terhadap Pengungsi Rohingya.
Wahyudi Adisiswanto menuturkan bahwa terjadi kesepakatan warga dalam unjuk rasa bahwa, masyarakat menolak kedatangan Pengungsi Rohingya baru, apabila masyarakat melihat mereka di laut maka, masyarakat akan mendorong perahu mereka menjauh.
Masyarakat juga meminta pengenaan biaya sewa lahan, karena masyarakat tidak bisa berkebun. Kebun-kebun di samping lokasi penampungan sementara di jadikan jalur kilat pengungsi Rohingya untuk buang air besar.
Tuntutan lainya adalah agar anak- anak dan perempuan di bibir pantai di tukar dengan laki-laki yang sehat yang ada di penampungan Sementara Mina Raya.
Selanjutnya masyarakat juga mengambil sikap apabila ada pengungsi Rohingya yang berkeliaran malam hari, maka akan di tangkap dan di anggap maling.
Untuk di ketahui sejak Desember 2022 Pj. Bupati Pidie sudah menyampaikan kepada UNHCR bahwa semua kebutuhan pengungsi di limpahkan kepada UNHCR, Pemkab hanya menyediakan lokasi penampungan sementara, tutupnya. RedÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H