Saat ini kebudayaan Jawa, terutama Filsafat Jawa hampir hilang dari kehidupan masyarakat. Kehidupan kita yang cenderung “western” telah mengabaikan filsafat- filsafat Jawa tersebut. Padahal dalam filsafat-filsafat tersebut mengandung ajaran “adiluhung” yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat. Filsafat Jawa pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Beberapa filsafat jawa yang perlu kita pahami: - Memayu hayuning bawana (melindungi bagi kehidupan dunia) - Sukeng tyas yen den hita (suka/bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran) - Jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan) - Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi (nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya) - Ajining sarira dumunung ing busana (nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya) - Amemangun karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain) - Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi (Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian) - Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa (Budi daya manusia tidak bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa) - Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kemarahan dan kebencian akan terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut) - Tan ngendhak gunaning janma (tidak merendahkan kepandaian manusia) Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai hakikat kebenaran. Dalam pandangan filsafat universal, hakikat kebenaran semata-mata berorientasi pada aktifitas olah cipta. Sedangkan dalam filsafat Jawa, hakikat kebenaran lebih berorientasi kepada olah rasa, yaitu sari rasa jati - sarira sajati, sari rasa tunggal - sarira satunggal. Berpangkal tolak dari ketajaman spiritual tingkat tinggi ini, maka filsafat Jawa dapat mengantarkan seseorang menjadi pribadi adimanusiawi. Segala hal yang berkaitan dengan owah gingsiring jaman dipandang dalam perspektif batiniah yang bener-pener dan genep-genah. Unsur-unsur ilmu filsafat yang terdiri dari logika - etika ? estetika, dalam kawruh Kejawen, lebih populer dengan istilah cipta ? rasa - karsa. Pagelaran wayang purwa yang merupakan lambang wewayanganing ngaurip, telah merangkum sinopsis ketiga unsur tersebut. Lakon Begawan Ciptoning merupakan simbol Raden Arjuna yang selalu mengutamakan daya cipta dan logikanya. Lakon Bima Suci merupakan simbol Raden Werkudara yang selalu mengutamakan daya karsa dan etikanya. Lakon Jamus Kalimasada merupakan simbol Prabu Puntadewa yang selalu mengutamakan daya rasa dan estetikanya. Kebijaksanaan hidup yang dilandasi logika - etika - estetika, cipta - rasa - karsa, kebenaran - kebaikan ? keindahan, dalam filsafat Jawa akan bersemayam dalam sanubari jalma pinilih, pethingane manungsa, pitatane dumadi. Manusia berjiwa agung, yang tidak kaget atas segala perubahan sosial, karena dirinya sudah pana pranaweng kapti, tan samar pamoring suksma, sinuksmaya winahya ing ngasepi. Hatinya selalu terang benderang. Pambukane warana, sinimpen telenging kalbu, tarlen saking liyep-layaping aluyup. Layar kesadarannya akan memantulkan aura kewibawaan. Itulah intisari ajaran filsafat Jawa Masih banyak filsafat-filsafat jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..) Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya. Sumber: namararina.blogspot.com/indoghaib.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H