Suasana ibukota kala itu sedang ramai-ramainya. Para pekerja berhamburan keluar mencari jalan tercepat menuju tempat beristirahat—rumah. Para pedagang yang tadinya mengantuk, menunggu pelanggan, tiba-tiba terkesiap berlarian—menawarkan barang dagangan.
“Bu, minumannya bu.”
“Koran sorenya pak, tiga ribuan.”
“Teh.. teh.. teh poci.”
Semunya nyaris mendapatkan pelanggan yang lumayan. Kecuali gadis kecil berkepang dua yang sedang menjajakan tisunya di sudut jalan.
“Bu, tisunya bu..” tawar gadis itu.
Sang ibu tak menoleh sedikitpun dan terus saja berjalan seakan ia hanya melewatkan dinding tembok kokoh yang tak berguna. Gadis kecil itu kembali menawarkan tisunya, kali ini kepada seorang bapak-bapak yang terlihat sedang menunggu bus jemputan. Bapak itu hanya tersenyum kecil, sebagai isyarat untuk memberitahunya bahwa ia tak butuh tisu.
Akhirnya gadis kecil itu menyerah. Ia beranjak duduk di pinggir trotoar sambil mengusap keningnya yang penuh dengan keringat. Gadis itu ternyata memakai sebuah kalung perak bertuliskan Thalia. Ah, pasti itu namanya.
Thalia menoleh ke kanan dan kiri untuk membidik target mana yang kira-kira akan membeli tisunya. Tapi belum sempat ia berdiri, dua orang laki-laki berbadan kekar menghadang di depannya.
“Setoran!” raung laki-laki yang paling dekat dengan Thalia. Tangan kanannya terjulur seraya memperlihatkan tato barunya yang bermotif naga.
Thalia yang sudah bersusah payah berdiri, sekarang mundur teratur, “tisuku belum ada yang laku, pak!”