Apa yang pertama kali terbesit di pikiranmu ketika kukatakan gadis penjual bunga? Seorang wanita cantik? Berkulit putih? Dan tersenyum ramah? Berarti selama ini kau salah besar. Gadis penjual bunga yang selalu melewati depan rumahku adalah wanita yang selalu berpakaian hitam, berwajah mengerikan, dan tersenyum muram.
Gadis penjual bunga itu setiap harinya berjalan kaki sambil menenteng sekeranjang bunga. Tak pernah sekali-kali kulihat ia berhenti dan menawarkan bunganya. Ia selalu saja menunggu seseorang untuk membelinya tanpa diminta.
Menurutku itu adalah taktik penjualan yang bodoh. Tapi siapa sangka, setiap hari pasti ada saja seseorang yang membeli bunga itu. Entah anak kecil yang sedang bermain, ibu-ibu yang tak sengaja berpapasan, sampai seorang kakek renta yang selalu duduk-duduk di taman.
Pernah suatu hari aku berpapasan dengan si gadis penjual bunga yang sedang melayani pelanggannya. Aneh. Dia tak berbicara. Ia menunjukan berbagai macam bunganya melalui isyarat tangan. Dan ketika sang pelanggan setuju untuk membeli, ia akan tersenyum, senyum yang menurutku tampak jauh lebih mengerikan. Senyum licik penuh kemenangan. Aku bertanya-tanya: Inikah caranya menunjukan kesopanan?Aku menggeleng sangsi.
Keesokan harinya aku menemukannya lagi. Si gadis penjual bunga itu sedang duduk di bangku taman tampak merenung. Tak biasanya ia duduk begitu. Yang kutahu, si gadis penjual bunga akan selalu berjalan mencari-cari pelanggannya yang baru. Tanpa kenal siang yang menyengat ataupun sore yang selalu dibasahi hujan.
Entah mengapa aku ingin sekali mendekatinya. Bercakap sebentar dengannya. Mungkin juga membeli setangkai bunga darinya. Aku tak mengerti. Melihat wajahnya yang selalu muram, aku jadi kasihan. Mungkin hari ini ia belum dapat pelanggan.
“Kamu punya mawar putih?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Si gadis penjual bunga menatapku sebentar. Lalu mengangguk dan menyodorkan setangkai mawar putih itu kepadaku.
“Berapa?” tanyaku sambil meraih mawar itu darinya.
Tangannya menunjuk angka sepuluh. Maka kukeluarkan selembar sepuluh ribuan yang tertinggal di dompet biruku yang lusuh.
Si gadis penjual bunga itu menerima uangku. Dan kini ia tersenyum. Senyum yang menurutku masih tampak jauh mengerikan daripada ia diam.