Aku tak mengerti mengapa kakiku bisa tiba di gedung tua ini. Bukankah gedung ini ialah gedung angker di pinggir jalan yang sering kulewati ke tempat kerja? Ya, sudah lama aku mendengar desas-desus tentang keangkeran gedung ini. Semenjak aku kecil hingga sebesar ini cerita horror terbaru terus saja terdesus di gedung tua ini. Seperti ada seseorang yang sengaja mengipasi agar tetap hangat di telinga.
Kakiku terus melaju semakin dalam. Dan lamat-lamat aku mendengar desah tangis seorang gadis kecil di ujung tangga. Aku menghampiri.
“Kamu kenapa menangis, dik?”
“Tak ada yang mau mengunjungiku kesini!”
Aku menatap heran. “Tapi aku disini.”
Gadis kecil itu perlahan mendongakan kepalanya. Entah mengapa aku tak begitu kaget ketika melihat banyak sekali bercak darah di wajahnya.
“Kakak baik sekali mau mengunjungiku. Tak ada yang mengunjungiku sebelumnya. Mereka bilang aku ini hantu. Mereka bilang gedung ini berhantu. Padahal mereka belum lihat, bahwa gedung ini sangat indah. Bahkan gedung ini adalah gedung terindah yang pernah kutemui.”
Mau tak mau mataku kembali menelusuri gedung tua ini. Hiasan dindingnya. Lantai marmernya. Lampu gantungnya. Ya, aku tak menyangkal bahwa gedung ini sangat indah.
“Kamu benar...”
“Tapi kenapa teman-temanku tak ada yang mau kesini? Mengapa semua orang bilang aku sudah mati? Aku nggak mengerti, kak,” lirih gadis kecil itu. Matanya menerawang ke arah jendela besar di sebelahnya—seperti memerhatikan sesuatu.
“Tapi kayaknya aku nggak akan kesepian lagi. Karena kakak telah datang kesini.”