Namaku Ranum Ramaya. Aku tinggal di sebuah kota kecil bersama wanita kurus berambut ikal yang biasa kupanggil ibu. Tidak dengan Ayah. Pernah suatu kali kubertanya kepada Ibu tentang keberadaan Ayah, tapi dia tak pernah menjawabnya. Dia jelas sekali mengalihkan pembicaraan ketika aku mulai menyinggung tentang Ayah. Dan hingga suatu malam, ibuku menyerah.
Kala itu aku sedang duduk di beranda bersamanya. Sama-sama memandang langit malam yang aneh sekali sedang cerah, padahal bulan Januari baru saja merekah. Aku berkata aku sangat menyukai mataku, karena mataku berbeda dari mata kebanyakan orang yang berwarna hitam. Mataku abu-abu. Ibu lalu menoleh dan seperti kebiasaannya ia kemudian mengacak-acak rambutku dengan sayang.
Aku berkata lagi, "Pasti mata Ayah juga abu-abu ya, Bu?" Anehnya Ibu kali ini tidak menghindar. Iya mengangguk sambil tersenyum lalu kembali memandang langit malam yang sekarang berbinar karena bintang-bintang.
"Apa rambutnya juga hitam legam dan selalu berantakan, Bu? Karena rambutku begitu," tanyaku lagi. Aku sangat takut Ibu akan membentakku karena bertanya lagi. Tapi saat itu ia mengangguk dan kembali tersenyum ke salah satu bintang di langit itu.
"Aku ingin bertemu dengannya, Bu," ucapku sangat hati-hati. Aku merasa perkataanku sekarang sudah tidak bisa ditolerir. Karena ibuku langsung bangkit dari duduknya dan bersiap untuk membentakku kapan saja.
Tapi dia terdiam terpana. Rambutnya sedikit banyak tertimpa cahaya rembulan, membuatnya terlihat begitu cantik walau amarahnya sedang berusaha menggigit.
"Tak perlu mencari dia, Num. Apa tak cukup bagimu seorang Ibu?"
"Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin melihatnya, sekali saja seumur hidup," elakku. Namun terlambat. Ibu tak mendengar ucapanku lagi karena ia keburu masuk lalu membanting pintu.
***
Bagiku ini sebuah kemajuan setelah mengetahui fakta kecil bahwa ayahku memiliki mata abu-abu dan rambut hitam yang berantakan. Ibu tak pernah memberi fakta sekecil apa pun sebelumnya.
Dan kini pikiranku mulai membayang bagaimana sosok pria gagah dengan mata abu-abu berdiri di depan pintu rumah, mengetuk pintu, dan bertanya apakah di sini ada yang bernama Ranum—dia anakku. Ah, indah sekali membayangkan itu. Tapi sampai sekarang sama sekali tak ada pria gagah yang mencoba mengetuk pintu, apalagi untuk menanyakan keberadaanku.