Kemarin, orang-orang yang memakai baju kuning, merah, biru, dan hitam ramai berkumpul. Mereka membentuk lingkaran—kecil dan besar—di sudut-sudut jalan. Seseorang berdiri di tengah, berambut botak, berkaca-mata, dengan fasih membicarakan hal yang sama: tentang semesta dan dunia yang akan menghilang.
Aku bertanya pada ibu. Namun ibu menggeleng tak tahu.
Aku bertanya pada ayah. Ia hanya sibuk mencoret sesuatu di kertas—tak menghiraukanku.
Dan ketika aku bertanya pada kakak. Ia menoleh dan tersenyum.
Kebanyakan kalian mungkin membenci seorang kakak karena selalu menyuruh dan memanfaatkanmu. Tapi aku sangat mencintai kakakku. Ia adalah manusia paling jenius di dunia ini. Lebih jenius dari professor yang mengatakan bahwa dunia akan menghilang dua hari lalu. Dan lebih-lebih jenius dari mereka yang mendeklarasikan diri dengan baju hitam.
Orang-orang yang tinggal di pinggiran kota seperti keluargaku ini hanya diperbolehkan memakai baju bewarna kuning. Itu adalah warna kasta terendah di negeri ini. Tak pernah ada penjelasan resmi tentang warna-warna itu. Namun kakakku sering berpendapat, bahwa kuning menggambarkan kotoran manusia. Seperti itulah kami terlihat di mata mereka.
Merah sendiri menggambarkan buah apel. Kasta yang berada di tingkat dua ini mewakilkan masyarakat yang mumpuni dan sehat karena sering memakan apel. Buah di negeri kami mahalnya tak terkira. Harga satu apel yang utuh bisa menyamai harga satu merk handphone. Dan harga sekantung apel, menyamai harga sewa rumah untuk satu tahun.
Sedangkan biru adalah berlian. Ini adalah kasta bagi masyarakat kaya yang seringkali memakai batu mulia. Batu mulia di negeri kami bukan hanya sekedar perhiasan, ia benar-benar mempunyai manfaat besar, salah satunya ialah alat penyembuh. Jadi barang siapa yang telah memiliki batu itu, tak pernah lagi memanggil dokter dan obat-obatan lain untuk ia telan.
Dan mereka yang berbaju hitam adalah penguasa. Mereka adalah golongan masyarakat yang konon telah membuat kasta, dan segala peraturan di negeri kami. Merekalah golongan orang terpintar dan mampu meramal masa depan. Aku pernah sekali berhadapan dengan orang berbaju hitam itu, yang kutahu lehernya tak pernah menduduk.
Kakakku berujar, “itu hanya berarti bahwa akan ada dunia baru.”
“Tapi professor di jalanan tidak bilang begitu.”