Tidak banyak yang mengetahui bahwa prangko masih aktif diperdagangkan dan dipergunakan hingga saat ini.
Bentuknya yang kecil dan memiliki nominal, membuat banyak orang mempersamakannya dengan materai.
Hanya saja, materai lebih sering ditemui dalam surat perjanjian atau dokumen penjualan. Sedangkan prangko mungkin hanya dikenali para filatelis atau mereka yang masih menekuni hobi bertukar surat dan kartu pos.
Saya sendiri baru berkecimpung dalam dunia prangko sejak bergabung dengan wadah pertukaran kartu pos, yakni Postcrossing, pada Februari 2021 lalu.
Dalam kurun waktu 2 tahun ini saya mengakui bahwa dibalik tarifnya yang terjangkau, kiriman berprangko memiliki beberapa kelemahan.
Salah satunya adalah tidak bisa dilacak, sehingga sulit untuk mengetahui keberadaan kiriman. Terlebih tidak ada waktu pasti kapan kiriman berprangko tersebut sampai.
Hal ini membuat pengirim maupun calon penerima bertanya-tanya, sudah sampai mana dan berapa lama lagi kiriman akan sampai. Bahkan tidak jarang juga kiriman berprangko yang berakhir hilang.
Nahasnya, kita tidak bisa komplain atau meminta bantuan petugas pos untuk mencari kiriman tersebut, karena mereka pun tidak memiliki catatan detail terkait pengiriman dan penerimaan surat berprangko.
Kelemahan-kelemahan tersebut awalnya saya maklumi karena tarif prangko yang sangat murah. Terhitung hanya Rp 3.000 untuk kiriman surat/kartu pos ke dalam negeri, dan Rp 6.000 - 8.000 untuk tujuan luar negeri.
Namun itu dulu, sebelum Kepmen Kominfo No. 222 Tahun 2022 disahkan pada bulan Mei lalu.