Kau mengangguk, tersenyum. Kepala sekolah tidak ikut tersenyum. Wajahnya kaku, meski tanjung telah meniup ubun-ubunnya yang sedang ngebul.
"Pekan depan ujian kenaikan kelas. Jika nilaimu masih seperti ini, kau harus tinggal kelas. Lagi. Untuk yang ketiga." Kau tidak mengerti mengapa kepala sekolah menempatkan banyak tanda titik pada kalimatnya. Penekanan demi penekanan seolah turut menambah kerut di dahi, pipi, dan ujung-ujung alisnya.Â
"Kau dengar aku, Jung?"
Kau mengangguk. Kali ini tidak tersenyum. Mungkin dengan begini, kepala sekolah akan menganggapmu telah bersungguh.Â
Dan benar saja, tidak sampai satu menit ketika kepala sekolah akhirnya pamit. Meninggalkan kau dan tanjung bersama dua burung gereja yang saling bersahutan (entah gosip apa yang tengah mereka perbincangkan).
 Kau dengar aku, Jung? tanyamu kepada pohon tanjung. Aku akan tinggal kelas.
"Lantas, mengapa tidak mulai belajar?" tanya Tanjung, yang kau yakini suaranya hanya ada dalam kepalamu.
Kau menimbang sebentar sebelum memutus: baiklah.Â
Besok, kau berjanji untuk belajar lebih giat. Mungkin memang sudah waktunya untuk mengurangi donat-donatmu yang kehabisan tempat.Â
Sayangnya besok adalah ilusi; dalih para pejanji, kilah para pesumpah. Tidak ada yang benar-benar bisa menebak kapan jatuhnya hari esok.Â
Menurut kamus yang pernah kaubaca di perpustakaan, besok adalah hari sesudah hari ini. Sedangkan pada setiap hari baru, orang-orang selalu menyebutnya dengan hari ini. Lantas besok itu kapan? Kapan itu besok? Mengapa perjanjian selalu dimulai dari hari besok?