Geliat start up yang semakin lincah di beberapa tahun terakhir, membuat iklim investasi bertumbuh positif untuk perusahaan tersebut.
Seperti halnya anak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Telekomunikasi Indonesia, Telkomsel, yang baru saja mengucurkan dana tambahan untuk start up tanah air, Gojek, tepatnya pada 23 Mei lalu.
Dana sebesar 300 juta dolar AS atau setara dengan 4,3 triliun rupiah tersebut digadang-gadang sebagai langkah Telkomsel untuk memperkuat bisnis digital, terutama Digital Connectivity, Digital Platform dan Digital Services.
Padahal baru enam bulan lalu, tepatnya di 16 November 2020, Telkomsel menyetorkan investasi pertamanya ke Gojek senilai 150 juta dolar Amerika atau setara dengan 2,1 triliun rupiah.
Hal ini membuat publik bertanya-tanya...
Pertimbangan apa yang membuat Telkomsel menggelontorkan dana sebesar 6,4 triliun dalam waktu berdekatan? Mengingat investasi pertamanya bahkan belum membuahkan hasil.
Dilansir dari laman websitenya, Gojek memulai perjalanan di tahun 2010 dengan layanan pemesanan ojek melalui call-center. Dengan bekal 20 orang pengemudi, Gojek stabil bertumbuh dan berinovasi dalam hal layanan.
Di tahun ke-5, start up hijau ini berhasil meluncurkan aplikasi berbasis Android dan IOS, serta melakukan tiga diversifikasi produk, yaitu GoRide, GoSend dan GoMart.
Nama-nama seperti Sequoia Capital, Paypal, Facebook, Djarum, Astra International, hingga Google, diketahui menjadi penyokong yang telah menyuntikkan sejumlah dana ke Gojek.
Perkembangan Gojek semakin terlihat di tahun-tahun berikutnya. Dari yang semula hanya menyediakan layanan transportasi, kini Gojek telah berkembang menjadi perusahaan teknologi besar dengan lebih dari 20 layanan.
Di tahun 2019, melalui studi LD FEB UI, Gojek mengklaim telah berkontribusi sebesar 7,1 miliar dolar AS terhadap perekonomian nasional.
Jumlah ini setara dengan 1% Produk Domestik Bruto (PDB) yang diraih Indonesia di tahun yang sama.
Kini, start up yang dikenal dengan tagline #PastiAdaJalan tersebut telah melebarkan sayap ke 3 negara lain di kawasan Asia Tenggara, yaitu Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Dalam Laporan Keuangan Telkom yang dirilis Bursa Efek Indonesia untuk tahun 2020, diketahui bahwa badan usaha milik negara ini telah menyuntikkan dana sebesar 2,1 triliun ke PT Aplikasi Karya Anak Bangsa alias Gojek.
Transaksi yang terjadi pada 16 November 2020 lalu, mengambil bentuk obligasi konversi tanpa bunga, dan akan jatuh tempo dalam jangka waktu tiga tahun.
Hal ini tentu berbeda dengan obligasi suku bunga tetap atau mengambang, di mana si penerima obligasi harus membayar bunga secara berkala di sepanjang masa berlaku obligasi.
Selain itu, obligasi konversi juga memungkinkan adanya perubahan bentuk dana alias konversi, dari yang semula surat utang menjadi saham. Hal ini membuat risiko pendanaan turut berubah.
Saham yang dikenal memiliki risiko dilusi (penurunan porsi kepemilikan saham akibat penambahan modal oleh investor lain), disinyalir menjadi celah besar untuk terjadinya kerugian.
Mengingat Telkomsel merupakan anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara, yang saham pengendalinya dimiliki Negara, maka kemungkinan kerugian investasi Telkomsel, secara tidak langsung menjadi kemungkinan kerugian bagi negara.
Kerugian, Benturan Kepentingan, dan Idealisme
Tidak ada yang mengharapkan kerugian dalam investasi, bahkan saya sendiri. Maka dari itu saya sangat hati-hati dalam memilih dan memilah jenis investasi. Namun akan berbeda ceritanya jika investasi dilakukan akibat adanya desakan kepentingan.
Baru-baru ini, seorang jurnalis Portal Berita Bantuan Hukum, Agustinus Edy Kristianto, membuat postingan menggelitik tentang keterlibatan keluarga Thohir dalam mega investasi Gojek dan Telkomsel.
Dilansir dari Antara, Garibaldi Thohir resmi diangkat menjadi komisaris Gojek sejak 24 Juli 2019. Sedangkan adiknya, Erick Thohir, merupakan Menteri BUMN di kabinet Indonesia Maju yang masih menjabat sampai saat ini.
Posisi Erick Thohir sebagai Menteri BUMN memperkuat dugaan bahwa ia terlibat dalam transaksi investasi yang dilakukan anak binaannya sendiri, Telkomsel.
Bukan tidak mungkin, investasi tersebut dilakukan untuk kepentingan tertentu. Untuk menutupi operasional Gojek yang sering kali bakar uang, misalnya.
Siapa yang tidak mau diguyur dana segar berjumlah triliunan? Apalagi memiliki opsi "tidak perlu dibayar", karena dapat dikonversi menjadi saham.
Setelah menjadi saham, risiko dilusi pun menjadi faktor yang menguntungkan. Gojek hanya perlu mengumpulkan sebanyak-banyaknya investor (untuk memperkecil presentase saham Telkomsel), yang sebenarnya sudah mereka lakukan dengan merger bersama Tokopedia.
Satu lagi, masih ada rencana initial public offering (IPO) yang bertujuan menghimpun dana dari publik, dan pastinya menggeser kepemilikan saham yang telah ada sebelumnya.
Jadi, apakah negara benar-benar diuntungkan dalam investasi 6,4 triliun ini?
--
Tutut Setyorinie, 8 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H