baca sebelumnya | Distorsi
Chat pendek itu masih menyisakan bekas sungai di pipimu. Namun tidak seperti nil yang mengalir dan berkumpul di hilir, sungai di pipimu hanya berakhir di gumpalan tisu yang kaubuang sembarang di sudut kamar.
Dia yang namanya tidak lagi kausebut konon telah memborbardir ruang kecil yang kausebut hati. Naasnya, ini bukan yang pertama, namun kau tetap merasakan sakit yang sama.
Dia yang pernah bersumpah akan mencintaimu seperti kasih ibu; menyayangimu seperti seorang ayah; sekarang tak ubahnya seperti semut di ujung lipatan kaki yang menggigit lalu pergi.
Kau menangis sejadi-jadinya. Menyabik apa-apa yang berada di ujung mata: telepon genggam, bantal, barisan semut yang hendak menyeberang.
Lalu terdiam.
Ibumu mengetuk pintu kamarmu dengan gelisah; menanyakan apa kau ingin makan. Karena jika iya, ia akan membelikanmu seporsi sate padang di perempatan jalan.
Tak ada yang lebih kausukai daripada legitnya daging bakar di sate padang. Bahkan ketika merantau jauh, atau sadar dari siuman, atau sembuh dari demam, hal pertama yang kaupinta dan tanyakan adalah sate padang.
Ibumu yang tak pandai memasak bahkan rela menonton video tutorial untuk membuat sate padang. Sayangnya, kau lebih menyukai sate padang buatan abang-abang. Jadilah ibumu tidak lagi membuat sate padang, kecuali terdesak keadaan.
Sedang ayahmu menanyakan apa kau ingin berbagi cerita. Karena jika begitu, ia siap mendengarkan. Meski tak jarang ceritamu disela dengan nasihat dan ceramah sarat kebaikan, kau tetap tak mengelak bahwa beliau pandai mendengarkan.
Kalimatnya yang kau dengar selintas-selintas saat menyantap sate padang, toh telah mengantarkanmu ke titik ini: sehat, lengkap, dan tidak kurang suatu apapun kecuali patah hati.