Kepergian Koh Ali diarak dengan rangkaian bunga. Saya melihat bakung putih dan anyelir yang berbisik-bisik gembira. Ada juga krisan dan mawar yang saling bergandengan tangan dan melempar tawa. Mereka seolah mengantar kepergian Koh Ali dengan suka cita. Lantas, apakah pergi dari dunia memang semenggembirakan ini?
Jika benar demikian, saya ingin menyusul kepergian Koh Ali. Kata ibu, Koh Ali tertabrak truk ketika hendak menyeberang ke pasar. Maka pagi ini, saat ibu masih terlelap, saya diam-diam keluar untuk menidurkan diri di jalan.
Jantung saya berdegup cepat. Ternyata meninggalkan dunia terasa seperti menaiki roller coaster. Saya ingat ketika Koh Ali mengajak saya menaiki wahana yang tingginya bahkan tidak bisa saya jangkau.
Koh Ali menyuruh saya menutup mata dan berhitung: satu, dua, tiga, enam, empat... tujuh. Saya tidak yakin apakah hitungan itu benar. Angka-angka selalu terlihat sama dan tidak beraturan.
Ketika hitungan saya sudah sampai ke lima puluh, saya memutuskan membuka mata. Saya pikir, saya telah berhasil meninggalkan dunia. Tetapi tidak, saya masih berada di dunia yang sama. Hanya saja semua cahaya dunia tersedot dalam nuansa putih yang menyilaukan.
Orang-orang juga bertingkah aneh. Mereka membawa bakung putih dan anyelir untuk ditabur di sekitaran jalan yang saya tiduri. Dalam keramaian, saya bisa mendengar seorang wanita berteriak: dunia telah menghilang, ia terlindas truk di persimpangan jalan.
11/10/2020,
Tutut Setyorinie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H