Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kompilasi

13 September 2020   18:46 Diperbarui: 19 September 2020   16:49 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: analyticsindiamag.com

Tahukah kau, satu hal yang kau miliki tapi tak benar-benar menjadi milikmu. Satu hal yang dekat, tapi tak benar-benar melekat. Mereka adalah hidup. Ibarat pohon yang ditanam dari bibit, dipupuki, dan ditopang hingga tinggi, hidupmu seolah terlahir dari tangan mereka yang tak lelah mengasihi.

Sejak dalam kandungan, kau sudah butuh rahim seorang ibu untuk menjaga dan menyuplai nutrisi. Begitu lahir, dokter yang menarik tubuhmu keluar dan membersihkanmu dari air ketuban. Belum lagi ketika kau beranjak besar dan semakin menyebalkan, seperti meminta jajan tanpa peduli ada uang.

Lalu ada ayahmu yang susah payah menasihatimu agar tidak bertengkar dengan laki-laki yang mengatakan kulitmu hitam. Awalnya kau kesal. "Laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran," sahutmu keras-keras. Tanpa sadar, tanganmu ikut terkepal. Napasmu tersenggal.

Namun ayahmu menggeleng, ia melepaskan kepalan tanganmu dan berkata, "untuk apa memberi pelajaran pada orang yang tidak mau belajar?"

Beliau juga mengingatkan bahwa kau perempuan, dengan begitu kau harus menggunakan cara elegan untuk balas dendam. Lagi pula kau lebih sering kalah, karena tenagamu tak cukup membuatnya terkapar. Hingga akhirnya kau tersadar dan memilih melapor pada guru ketika anak laki-laki itu mulai macam-macam.

Kemudian ada ibumu yang tidak pernah protes ketika mencuci seragammu yang berbau anyir karena terperosok ke lubang got. Kakakmu yang rela berbagi coklat setelah kau menangis seharian. Gurumu yang dengan sabar menjelaskan bahwa satu kali satu adalah satu, bukan dua, lima, atau sepuluh.

Beranjak dewasa, kau semakin tidak terlepas dari kebaikan sekitar. Mulai dari tukang parkir yang telaten merapihkan sepeda motormu dalam barisan. Penjual baju yang masih sabar walau kau tawar mati-matian. Tetangga yang tak pernah protes ketika musikmu terdengar kencang. Pengatur jalan yang tak pernah marah walau kau tak beri uang.

Mendadak kau berpikir pernahkah mereka pernah kesal? Menyumpah dan berpikir untuk mengutukmu menjadi batu? Namun tidak, satu-satunya orang yang dapat mengubahmu menjadi batu hanya ibumu. Dan fakta bahwa kau masih berwujud manusia sudah membuktikan bahwa ibumu tidak pernah menyumpah demikian. 

Mungkin juga tidak ada salahnya untuk sekali-kali menyenangkan mereka: para pengatur jalan dan anak kecil yang tiba-tiba mengelap sepeda motormu di lampu merah. Mentraktir teman tanpa menunggu peristiwa spesial. Memberi makan kucing yang tak sengaja kau injak ekornya ketika buru-buru menyeberang.

Bukan karena kau mengharap imbalan, namun semata-mata untuk berterima kasih pada hidup.  Pada kompilasi kebaikan orang-orang yang telah mengantarmu ke titik ini: bisa bernapas, berdiri sendiri, dan mampu membeli roti lapis daging tanpa berpikir apakah besok bisa makan (dengan catatan ini bukan akhir bulan).

13/09/2020.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun