Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. (Sapardi Djoko Damono, 1973)
Salah satu bait dalam puisi Pada Suatu Pagi Hari menyayat hati saya ketika mendengar kabar kepergian penyair kebanggaan negeri, Sapardi Djoko Damono. Sastrawan yang terkenal dengan puisi yang rendah hati ini berpulang pada usianya yang tepat menginjak 80 tahun akibat penurunan fungsi organ.
Sapardi Djoko Damono atau yang biasa disapa Eyang Sapardi, telah melahirkan ribuan bait indah yang terangkum dalam ratusan puisi dan puluhan novel. Beberapa melejit, dijadikan lagu hingga menyelam ke layar lebar. Beberapa lagi dijadikan caption banyak orang, terselip dalam surat kabar hingga ke undangan pernikahan.
Kenangan saya bersama Eyang memang tidak banyak. Satu-satunya momen pertemuan saya dengan beliau terjadi pada saat Kompasianival tahun 2018 lalu. Pada saat itu Sapardi membacakan buku puisinya yang baru saja terbit, berjudul Perihal Gendis.
![Sapardi Djoko Damono di Kompasianival 2018 | ilustrasi: dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/20/20181208-5f14f4cad541df02e56c9784.jpeg?t=o&v=770)
Suaranya yang rapuh namun tegar tampak serasi dengan sosok Gendis dalam puisinyagadis kecil yang berusaha menemukan arah setelah ditinggal pergi ayah dan ibunya.
Saya bukan seseorang yang ahli dalam membuat puisi, apalagi mengartikan puisi. Namun ketika membaca puisi Sapardi, saya seolah tidak perlu menjadi ahli tafsir. Kalimatnya yang sederhana namun sarat akan makna, telah memudahkan pembaca untuk menyelami bait demi bait dalam puisi yang ditulisnya.
Melalui puisinya pula, saya mencoba mengenal lebih dalam sosok sastrawan yang telah menerima penghargaan SEA Write Award pada tahun 1986 ini.
Romantis di level yang berbeda
Romantis adalah satu hal yang paling melekat dalam puisi-puisi Sapardi. Salah satunya tergambar pada puisi yang telah kita ketahui bersama, yaitu berjudul Aku Ingin.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. (Sapardi Djoko Damono, 1989)