Dalam cerita fiksi, terdapat beragam sudut pandang yang dapat digunakan penulis. Sudut pandang inilah yang menentukan jalannya cerita. Terkadang pemilihan sudut pandang juga dapat menjadi penilaian dari bagus atau tidaknya cerita. Dari beberapa literatur, sudut pandang terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sudut Pandang Orang Pertama
Sudut pandang orang pertama biasa digambarkan dengan kata "aku" atau "saya". Sudut pandang ini terkenal cukup mudah dan banyak digunakan oleh penulis, khususnya penulis pemula.
Dalam sudut pandang ini, seolah-olah penulislah yang mengalami semua kejadian itu. Ini membuat kesan yang dekat antara penulis dan ceritanya. Salah satu cerpen yang pernah saya buat dengan sudut pandang pertama berjudul Tak Seharusnya Cinta.
Ayah---itulah sebutan kesayanganku padanya. Namun sayang, sosok lelaki tegap yang sangat kukagumi itu tak lagi menyinggahi rumah ini. Mungkin baginya rumah ini sudah terlalu tua. Atau mungkin rumah ini sudah tak senyaman sedia kala. Entahlah, yang kutahu, semenjak kematian Ibu, aku tak pernah lagi menemukan sosok murah senyum itu di sini. (Tak Seharusnya Cinta - Tutut Setyorinie)
Dalam cerpen ini, saya menggambarkan tokoh "Aku" yang tengah merindukannya ayahnya. Hampir semua isi cerpen ini menggambarkan kegundahan dari pikiran tokoh "Aku". Sedangkan pikiran tokoh lawan yaitu "Ayah" hanya sebatas penglihatan dari tokoh "Aku".
Saya membuat dialog yang cukup singkat pada cerpen ini, karena saya memfokuskan pada narasi tokoh "Aku" dengan dirinya sendiri.
Baca juga : Cerita Fiksi: Sucinya Rara Ayu
Inilah kelemahan sekaligus kelebihan dari menggunakan sudut pandang orang pertama. Ya, kelemahannya adalah penulis hanya bisa menuangkan isi pemikiran si tokoh "aku" ini. Sedangkan kelebihannya adalah penulis bisa lebih dalam menggali pikiran tokoh "Aku".
Bukan hanya dalam cerpen, sudut pandang orang pertama juga banyak digunakan dalam novel, salah satunya adalah pada novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq.
Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Mendadak aku merasa seperti sedang menjalin kontak batin antara aku dengannya, membahas ramalan yang benar-benar terjadi.
"Hei", kusapa dia.
"Ada undangan" dia langsung bilang gitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu. (Dilan 1990 - Pidi Baiq)
Walaupun hanya menggunakan sudut pandang orang pertama, novel Dilan tetap tidak kehilangan pesonanya. Hal ini dikarenakan dialog yang cukup kuat terjalin di antara kedua tokoh yaitu Dilan dan Milea. Dialog-dialog inilah yang membuat Dilan dan Milea seolah bercerita bersama.