Banyak hal yang terlintas dalam pikiranmu ketika jam mulai menunjuk angka 12 malam. Di waktu ini, para dokter pasti akan menganjurkanmu untuk segera tidur. Belum lagi ibumu yang akan mengomel jika kau masih tersadar, sementara di pagi buta kau harus berangkat.
Tapi pikiranmu seperti tidak bisa diajak berkompromi. Berkali-kali kau ingin tidur, berkali-kali juga pikiranmu memintamu untuk tetap terjaga. Dan kau yang terbiasa mengalah, memilih untuk mengikuti jalan 'pikiran' pikiranmu.
Pikiranmu memang menanggung beban berat akhir-akhir ini. Maklumlah jika ia meminta sedikit waktumu untuk berbagi. Rasanya tidak adil membiarkan teman dekat menanggung masalah beratnya sendirian.
Dan pikiranmu mulai bercerita. Tentang tujuan hidupmu, tentang kemana kau akan melangkah. Selama ini, hidupmu memang terlampau pasrah seperti air mengalir. Bukan karena kau tidak punya mimpi, namun lebih kepada takut jika mimpi itu tidak terealisasi.
Pada akhirnya kau memilih terombang-ambing dalam kapal berlubang. Sibuk membuang air, tanpa tahu kapan bisa sampai ke daratan. Jika saja ada seseorang yang menjual kompas kehidupan, pasti kau akan membelinya. Namun siapa yang akan menjual, jika masing-masing harus susah payah merakitnya.
Sudut matamu mengenang kembali anak kecil yang kau temui di jalan. Tanpa beban mereka berlarian, memancing ikan, lalu turut berenang bersama. Kemudian kau melihat dirimu sendiri. Sibuk mencari pekerjaan yang mapan, hingga lupa bersenang-senang. Kau seringkali lupa, bahwa pekerjaan mapan tidak menjamin kebahagiaan.
Namun siapa yang bisa mengelak uang? Bahkan elite bangsa yang memiliki aset segudang, masih memohon pada rakyatnya untuk mencuri uang. Sebuah ironi ketika uang menjadi maharaja dari segala keinginan.
Sementara di sisi lain, jalan-jalan berlubang dan kebakaran hutan belum juga padam. Udara bersih semakin mahal di negara yang menyimpan banyak pepohonan dan berjuta lautan.
Belum selesai kau berpikir, lubang di kapalmu bertambah besar. Kau pikir inilah akhir perjalanan mimpimu. Mungkin ketika pagi nanti, kau akan meminta maaf kepada ibumu yang bersusah payah membesarkanmu. Kau juga akan meminta maaf kepada ayahmu yang telah bersusah payah membiayai kehidupanmu. Kau akan meminta maaf pada adikmu, karena tidak bisa menjadi suri tauladan yang benar.
Kapalmu semakin berat. Kini kau benar-benar pasrah. Tidak ada gunanya membuang air karena sudah menggenang luas. Yang perlu kau lakukan hanya mengambil udara sebanyak mungkin agar kau dapat bertahan.
1 menit, 2 menit, kepalamu mulai terasa pusing. Hidung, telinga, dan bola matamu mulai tergenang air. Asin, seperti saat pertama kali kau mencoba memasak sayur. Saat itu, kau menghabiskan sayur itu sendirian.