Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Membiru Bersama Langit

28 Agustus 2019   13:02 Diperbarui: 28 Agustus 2019   13:20 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pinterest.com/fullmetalsabotage94

Saya tersentak bangun di tengah langit biru. Setelah bertahun mengidamkannya, kini saya benar-benar bisa merasakan langit biru. Seperti warnanya, langit biru ternyata sangat lembut. Persis seperti bolu buatan ibu. Hanya saja, bolu ibu tidak pernah berwarna biru. Ia juga sangat hangat. Persis seperti susu yang disediakan ibu ketika saya hendak tidur.

Ah, iya. Di mana ibu?

Terakhir kali, ibu memberi saya selimut dan mengecup kening saya lama. Ia berkata, besok akan mengantar saya jalan-jalan. Saya sangat senang. Saya katakan padanya tidak akan terlambat bangun. Lantas saya cepat-cepat tidur. Jam baru menunjukkan pukul 20.00 ketika saya memaksakan kelopak mata untuk tertutup.

Tidur, tidur, tidur, begitu mantra yang saya rapal supaya mengantuk. Namun, semakin dipaksakan, pikiran saya justru semakin terbangun. Maka seperti kata ibu, saya akan mulai berhitung hingga saya lupa dan tertidur. 

Namun tidak seperti biasanya, ketika saya memilih menghitung banyaknya kejadian yang saya alami. Malam ini, saya ingin menghitung mimpi.

Satu: saya ingin memiliki sepeda angin.

Saya tidak tahu bentuk sepeda angin. Saya juga bingung ketika disuruh mendeskripsikan bentuk sepeda angin. Saya hanya ingin memiliki sepeda yang dapat bergerak ketika angin bertiup. Mirip dengan sepeda biasa, hanya saja saya tidak perlu mengayuh. Kata ibu, mengayuh hanya akan membuat kaki pegal. Belum lagi risiko jatuh yang sering kali membuat kaki terluka. Kata ibu, saya harus menghindari sesuatu yang membuat terluka.

Namun, dua tahun lalu, saya tidak menepati janji. Saya terlalu ingin naik sepeda, hingga lutut saya berdarah. Saya tidak menangis, karena ibu menangis terlebih dulu. Kata ibu, anak laki-laki tidak seharusnya menangis. 

Tetapi ketika ibu jatuh dan tidak sadarkan diri, saya sempat menangis. Saya rasa tidak apa-apa karena ibu tidak akan tahu. Menangis ternyata melegakan. Seperti ada seseorang yang menopang berat tubuhmu, ketika kamu lelah berjalan.

Namun ketika ibu tak kunjung sadar, saya berhenti menangis. Saya juga berhenti naik sepeda, karena takut ibu menangis. Seperti kata ibu, kami harus jadi orang kuat. Orang kuat berarti tidak banyak menangis.

Dua: saya ingin memiliki sayap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun