Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Cerpen | Pertemuan di Ujung Penantian

23 Mei 2019   22:13 Diperbarui: 25 Mei 2019   17:14 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.christianegruenloh.com

Namaku Fitri. Mereka bilang, aku dilahirkan pada malam saat imam masjid mengumumkan bulan Ramadhan telah berakhir. Beratku saat itu tidak lebih dari 3 kilo. Berambut hitam, bermata tajam, persis seperti ibuku. Sedangkan alis mataku tipis melengkung, dengan bulu rambut yang acak-acakan. Mereka bilang, itu alis ayahku. 

Sedangkan aku, tidak tahu apa-apa. Tidak pernah bertanya, tidak pernah curiga. Aku seolah mengikhlaskan dunia yang telah menenggelamkan orang yang seharusnya kusebut ibu dan ayah. 

Bulan Fitri, 19 tahun lalu. Aku tidak punya apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. Tidak rumah, tidak ayah, ibu, apalagi harta benda. Mereka yang seharusnya kusebut keluarga entah menghilang ke mana. Hingga kini, tidak ada yang kusebut orang tua. 

Bagiku sebutan itu adalah analogi klise. Toh, aku punya keluarga yang kusebut Abah dan Ama. Merekalah yang merawatku, membersihkan tubuhku dari kotoran, menyuapiku hingga membacakan dongeng pengantar tidur. Merekalah orang yang sering menyebut betapa miripnya aku dengan ibu dan ayah. Tapi mereka juga yang membungkamku ketika aku mulai bertanya.

"Mereka tidak akan kembali," sahut Abah suatu waktu.

Abah, kalian tidak pernah tahu bagaimana aku menyayanginya. Bagiku ia lebih dari sekadar ayah. Abah adalah orang yang pertama kali mengajariku naik sepeda. Ia juga mengajariku membaca, menulis, memberi makan sapi peliharaannya dan Abah pula yang mengantarkanku pada hari pertama sekolah.

Saat Ama memarahiku ketika tidak mau belajar, Abah membelaku. Ia bahkan mengajakku berkeliling dengan sepeda tuanya agar Ama tidak lagi menyuruhku belajar. Saat guruku memanggil perwakilan wali murid karena nilaiku merah. Abah pula yang maju, bahkan ia berbalik memarahi guruku. Katanya, jika ada anak murid yang gagal, seharusnya kegagalan itu merupakan pembelajaran bagi guru, bukan anak murid.

Banyak hal yang telah dilakukan Abah untukku, hingga jika ia berkata "Tidak", aku tidak akan membantahnya walau hanya di dalam pikiran. Namun kali itu berbeda. Aku benar-benar ingin bertemu mereka. Setidaknya melihat dalam bingkai foto lama. Namun Abah tetap menolak dengan mengatakan hal yang sama.

Kini harapanku tinggal Ama. Walau Ama sering memarahiku, namun aku tahu ia memiliki hati yang lembut. Sering aku memergoki Ama tengah mengusap kepalaku ketika tidur. Ia bahkan menjahitkan baju untukku ketika bulan Fitri tiba. Katanya sebagai hadiah pertambahan umurku.

Namun ketika aku bertanya, reaksi Ama tidak berbeda jauh dengan Abah.

"Untuk apa mencari mereka, tidak cukupkah Ama dan Abah untukmu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun