Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kamboja Terakhir

11 November 2017   09:01 Diperbarui: 11 November 2017   09:39 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panglima itu masih menahan napas. Tangannya terpatri pada satu-satunya pegangan, sekaligus satu-satunya benda yang masih berdiri kokoh di bangunan itu. Keningnya panas, matanya panas. Sudah tiga hari ini ia hanya mampu mengigit bibir untuk menahan sakit. Di ujung bola matanya tampak para prajuritnya yang telah bergelimpangan di lautan darah.

"Ananta..."

 Pelupuk mata panglima mengembun sebelum kristal-kristal bening itu jatuh melintasi pipinya yang lebam. Ananta adalah salah satu prajurit terbaik yang pernah dimilikinya. Perawakannya tinggi, besar, dengan kulit sawo matang dan jenggot tipis. Ia pernah berkata, di hadapan orang boleh ia terlihat gagah berani, namun di hadapan keluarga ia masih seorang ayah yang mempunyai sifat menyayangi. Itulah mengapa ia membiarkan jenggotnya tumbuh, persis seperti yang diminta sang anak untuk meniru salah satu serial kartun yang ia sukai.

"Gibran.."

Prajurit satu itu tergeletak paling naas. Tubuhnya sudah tidak bisa dikenali jika saja tanda pengenal itu tidak tersangkut di saku kanannya. Panglima sekarang benar-benar menangis. Baru dua hari lalu Gibran memberitahunya bahwa anak pertamanya telah lahir. Gibran meminta agar ia berkunjung ke rumahnya lantas mendoakannya supaya bayi kecil itu tumbuh menjadi seorang Panglima seperti dirinya. Andai saja prajurit itu masih di berdiri gagah di sampingnya, mungkin esok atau lusa mereka akan pergi bersama melihat malaikat kecil yang kelak ketika besar akan mengikuti jejak sang ayah.

Detik demi detik berlalu, Panglima masih mengelilingi dan mengenali wajah prajurit terbaiknya yang tak lagi bernyawa. Ia kemudian mengenali Supriatna. Lelaki yang tegas di lapangan, namun tak tahan untuk tidak melontarakan lawakan dalam satu hari. Apapun menjadi lucu jika dibicarakan dengan Supriatna, dan siapapun akan tertawa ketika ia mulai bercerita.

Panglima juga mengenali Danis. Prajurit termuda yang baru saja diterimanya beberapa bulan lalu tampak paling tampan di lautan darah itu. Tidak seperti prajurit lain yang sudah menginjak angka tiga puluh ke atas dengan beberapa uban di kepalanya, Danis masih tampak seperti remaja dengan rambut hitam tegas dan kulit bersih. Jika ia sudah berbicara, semua akan terdiam. Keahliannya menyusun rencana dan strategi melupakan usia keprajuritannya yang masih seumur jagung.

Panglima terduduk meratap. Ia membiarkan prajurit-prajurit itu dibawa seseorang menuju tempat peristirahatan terbaik. Sedangkan langkah kakinya gontai mengantar mereka menuju halaman di mana ia sempat menghabiskan malam sebelum pertempuran itu terjadi.

Halaman itu kini kosong. Nyaris seperti rumah yang telah lama ditinggal pemiliknya puluhan tahun lalu. Pohon kamboja yang menjulang tinggi di tengahnya kini juga sudah hangus tersisa. Dulu, pohon ini dipenuhi dengan bunga. Panglima sengaja memetik bunga-bunga ini untuk disematkan kepada prajuritnya yang gugur sebagai tanda penghormatan terakhir. Dan kini, pohon itu tinggal menyisakan satu bunga yang paling indah sekaligus paling mekar di antara yang lain.

Sebelum memulai hari, Panglima meyakini diri bahwa ia tidak akan pernah memetik bunga itu yang berarti tidak akan prajuritnya yang gugur lagi. Namun perkiraannya salah. Hari ini justru hari kepulangan bagi prajurit-prajurit terbaik yang pernah ia miliki. Bunga kamboja terakhir itu lepas dari batangnya dan dibawa Panglima dengan hati-hati.

Di tempat yang hening itu, semua orang menunduk, merapal doa bagi yang telah pergi. Gerimis di awan mulai turun menyamarkan bekas tangis. Riuh angin menyamarkan pilu hati yang sejak tadi teriak mengiris. Panglima menaruh bunga kamboja itu tepat di tengah tanah lapang yang masih basah. Air matanya telah habis. Ia tidak dapat menangis, tidak juga bersedih. Panglima mengikhlaskan prajuritnya menuju tempat peristirahatan terindah yang pantas menjadi bayaran atas perjuangan tak kenal lelah di medan perang.

Selamat jalan para pahlawan. 

11 November 2017.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun