Sri Rahayu. Siapapun di desa Makasari pasti mengenal perempuan yang satu itu. Cantik, tinggi, putih, dan idola pemuda seluruh desa. Banyak juga yang memanggilnya si ayu—bukan karena singkatan namanya, tapi karena cerminan wajah Rahayu yang memang sangat ayu.
“Menikahlah denganku, yu.Aku akan membangun rumah tingkat sepuluh untukmu,” rayu Podan suatu kali. Podan adalah pemuda asal batak yang saat ini paling gencar menjadikan Rahayu seorang istri.
Sedang Rahayu hanya tersenyum. Kata orang, Rahayu memang tak banyak bicara. Itu mengapa semua orang tak pernah marah kala Rahayu tak membalas pertanyaan atau sapaan mereka.
“Kau mau makan spagethi setiap hari? Atau naik ferarri kemanapun kau pergi? Aku mampu, yu. Asal kau menikah denganku.”
Malam itu Podan ingin sekali menggenggam tangan Rahayu yang katanya sehalus debu. Tapi usahanya lagi-lagi gagal. Tangan Rahayu lepas dari pandangan. Kembang desa itu tiba-tiba membetulkan poninya.
“Kulihat kau sangat suka warna ungu. Tenang, yu. Semua rumah kita akan bernuansa ungu. Pagar kita ungu. Mobil kita ungu. Kalau bisa seragam security kita juga warna ungu. Apapun untuk membuatmu bahagia, akan abang lakukan yu.”
Rahayu kali ini diam mendengarkan. Ia menatap lelaki di hadapannya. Sedang Podan akhirnya berhasil menangkap tangan mungilnya dalam genggaman.
“Abang janji akan membahagiakanmu, yu. Abang akan bekerja siang malam untuk membuat istana kita.”
Rahayu tersenyum. Dan ini hanya berarti satu pertanda. Rahayu bersedia dipinang lelaki berdarah batak tersebut. Podan berteriak keras. Dan keesokan harinya desa Makasari diselimuti rasa bahagia bercampur tak percaya.
Benarkah si kembang desa telah menjatuhkan pilihannya?
Mungkin hari itu akan dicatat dalam sejarah. Hari perkawinan paling megah yang pernah ada di desa Makasari. Jalanan desa tak lagi berfungsi seperti biasanya. Jalan itu kini penuh oleh arak-arakan pengantin yang membawa seserahan.