Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Ada Dusta di antara Kita, Mas

2 September 2016   15:30 Diperbarui: 2 September 2016   17:41 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bonaventura10.blogspot.com

“Mas, apa itu di bawah kertas kerjamu?”

Amarah wanita berambut ikal itu tiba-tiba meledak di ruang tamu. Tangan kanannya menunjuk lurus-lurus ke arah ruang kerja suaminya. Sedangkan tangan kirinya mengepal kuat sekali—sehingga urat kehijauannya kentara sekali sedang menarik-narik.

“Memangnya apa yang ada di bawah kertas kerjaku, Dik?” Suaminya menjawab santai. Ia kembali memfokuskan bacaannya pada koran pagi yang baru saja dilempar penjualnya tepat di depan pintu rumah.

Ternyata jawaban santai sang suami malah mengakibatkan amarah wanita itu melesat ke level tertinggi. Dahinya berkerut dalam sekali. Dan giginya bergemeretak sampai menimbulkan bunyi. “Apa? Seharusnya aku yang tanya apa, Mas!”

Mengenali bahwa istrinya memang sudah benar-benar marah, akhirnya sang suami menyerah dan bangkit menuju ruang kerjanya. “Coba tunjukan padaku, Dik, yang mana?”

Dengan geram, sang istri mengarahkan jemarinya pada kotak merah kecil yang sudah dipastikan dalamnya berisi cincin. Ia lalu membuang wajah sambil meremas kedua tangan.

Sang suami kemudian menghampiri kotak merah itu dan mengangkatnya. “Ini?”

“Jangan ada dusta di antara kita, Mas,” ucap sang istri yang kini mulai sesenggukan menahan air mata. “Untuk siapa cincin itu? Untuk istri barumu?”

Sang suami sesaat tampak bingung. Sedetik kemudian barulah ia mengerti, kepalanya menggeleng lalu bibirnya tersenyum kecil, “Ini bukan untuk siapa-siapa, sayang. Ini…”

“Bohong kamu, Mas,” potong sang istri sebelum suaminya bisa menjelaskan apa-apa. Ia lalu membanting pintu di hadapannya dan berlalu dari ruang kerja itu tanpa bersuara.

Sang suami kemudian berlari mengejar istrinya yang ternyata sudah mengurung diri di kamar. “Dik, buka pintunya. Mas mau jelasin.”

Tapi pintu itu tak kunjung terbuka. “Kalau kamu memang mau menikahi wanita lain, pergi sekarang, Mas. Nggak usah berbicara denganku lagi.”

“Tapi cincin ini buat kamu, Dik.”

“Aku nggak percaya.”

Sang suami mendesah napas berat. “Kamu bilang cincin kamu hilang empat hari lalu. Aku kepikiran terus, Dik. Dan sewaktu aku lewat toko emas pas pulang kerja kemarin. Aku jadi ingin membelikan cincin ini untuk menggantinya.”

Kali ini si istri diam mendengarkan.

“Aku berniat mau memberikan padamu, malam nanti, Dik. Sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke tiga. Tapi ternyata kamu menemukan lebih dulu ya…” Sang suami mengakhiri cerita.

Kira-kira lima menit dilalui mereka berdua dalam sunyi. Sampai akhirnya sang istri membuka pintu kamar dan keluar dengan mata sembap—jelas sekali bekas air mata. “Jadi benar, nggak ada dusta di antara kita, Mas?”

“Satu-satunya dustaku adalah ketika kuberkata bahwa wajahmu jelek, Dik, ketika marah. Karena sebenarnya wajahmu tetap cantik, tak peduli sedang marah ataupun manja,” ucap sang suami lalu menyematkan cincin baru itu ke jari manis istrinya.

31 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun