Tapi pintu itu tak kunjung terbuka. “Kalau kamu memang mau menikahi wanita lain, pergi sekarang, Mas. Nggak usah berbicara denganku lagi.”
“Tapi cincin ini buat kamu, Dik.”
“Aku nggak percaya.”
Sang suami mendesah napas berat. “Kamu bilang cincin kamu hilang empat hari lalu. Aku kepikiran terus, Dik. Dan sewaktu aku lewat toko emas pas pulang kerja kemarin. Aku jadi ingin membelikan cincin ini untuk menggantinya.”
Kali ini si istri diam mendengarkan.
“Aku berniat mau memberikan padamu, malam nanti, Dik. Sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke tiga. Tapi ternyata kamu menemukan lebih dulu ya…” Sang suami mengakhiri cerita.
Kira-kira lima menit dilalui mereka berdua dalam sunyi. Sampai akhirnya sang istri membuka pintu kamar dan keluar dengan mata sembap—jelas sekali bekas air mata. “Jadi benar, nggak ada dusta di antara kita, Mas?”
“Satu-satunya dustaku adalah ketika kuberkata bahwa wajahmu jelek, Dik, ketika marah. Karena sebenarnya wajahmu tetap cantik, tak peduli sedang marah ataupun manja,” ucap sang suami lalu menyematkan cincin baru itu ke jari manis istrinya.
31 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H