“Mas, apa itu di bawah kertas kerjamu?”
Amarah wanita berambut ikal itu tiba-tiba meledak di ruang tamu. Tangan kanannya menunjuk lurus-lurus ke arah ruang kerja suaminya. Sedangkan tangan kirinya mengepal kuat sekali—sehingga urat kehijauannya kentara sekali sedang menarik-narik.
“Memangnya apa yang ada di bawah kertas kerjaku, Dik?” Suaminya menjawab santai. Ia kembali memfokuskan bacaannya pada koran pagi yang baru saja dilempar penjualnya tepat di depan pintu rumah.
Ternyata jawaban santai sang suami malah mengakibatkan amarah wanita itu melesat ke level tertinggi. Dahinya berkerut dalam sekali. Dan giginya bergemeretak sampai menimbulkan bunyi. “Apa? Seharusnya aku yang tanya apa, Mas!”
Mengenali bahwa istrinya memang sudah benar-benar marah, akhirnya sang suami menyerah dan bangkit menuju ruang kerjanya. “Coba tunjukan padaku, Dik, yang mana?”
Dengan geram, sang istri mengarahkan jemarinya pada kotak merah kecil yang sudah dipastikan dalamnya berisi cincin. Ia lalu membuang wajah sambil meremas kedua tangan.
Sang suami kemudian menghampiri kotak merah itu dan mengangkatnya. “Ini?”
“Jangan ada dusta di antara kita, Mas,” ucap sang istri yang kini mulai sesenggukan menahan air mata. “Untuk siapa cincin itu? Untuk istri barumu?”
Sang suami sesaat tampak bingung. Sedetik kemudian barulah ia mengerti, kepalanya menggeleng lalu bibirnya tersenyum kecil, “Ini bukan untuk siapa-siapa, sayang. Ini…”
“Bohong kamu, Mas,” potong sang istri sebelum suaminya bisa menjelaskan apa-apa. Ia lalu membanting pintu di hadapannya dan berlalu dari ruang kerja itu tanpa bersuara.
Sang suami kemudian berlari mengejar istrinya yang ternyata sudah mengurung diri di kamar. “Dik, buka pintunya. Mas mau jelasin.”