"Udah maem belum? Tidur di mana? Kalau belum ada tempat, biar dicarikan di sekitar sini." Sungguh tidak enak hati mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu. Khas emak-emak. Khas orang Jawa.
"Nih, ini dibawa aja," ujarnya ketika melihat kotak snack masih tersisa beberapa.
Lain waktu, "Ini ambil." Ia berkata begitu sambil menyorongkan piring besar berisi tumpukan ayam goreng ke depan dadaku. Duh gusti, jadi batal mengambil nasi, padahal segunung urap di atas meja sungguh menggoda. Dimakan bersama nasi hangat pasti maknyus!
Hobinya mencicipi jajanan rakyat. Di sebuah sekolah dasar yang kami kunjungi, Laila Istiana mencicipi jajanan anak-anak di kantin bertiang dan beratap bambu. Cara penyajian dan lingkungan yang menurutku kurang sip membuatku enggan mengikuti tingkahnya hari itu. Namun, ia dengan santai dan lahapnya menghabiskan satu porsi jajanan entah apa namanya.
Di tempat lain, Laila pun melahap jajanan yang menurut penglihatanku gak karu-karuan bentuknya. "Enak lho ini," katanya mantap.
Aku hanya berharap Mbak Nana diberi kekuatan menghadapi bakteri atau virus yang mungkin saja hinggap di tubuhnya.
Nada suaranya galak kalau bicara prinsip dan kondisi negeri. Kalau bicara tak mau mengalah. Tetapi ia juga bisa menyerah saat menyadari argumennya tidak cukup baik.
Seperti seharusnya seorang muslim, Laila Istiana selalu menebarkan salam di mana pun ia berada. Sikapnya selalu hangat terhadap orang kecil. Sifat amanah ia tunjukkan saat tidak sedikit pun ia memotong dana bantuan yang disalurkannya.
Ia royal pada siapa pun. Namun, jangan ditanya kalau soal money politic. "Saya tidak mau money politic. Saya tidak akan mengeluarkan uang untuk itu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H