Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Thanatos

9 Juni 2017   13:52 Diperbarui: 10 Juni 2017   23:54 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Photobucket

Ia adalah sunyi dalam hening mengawasi.

Kepada segelas cangkir kopi dan monolog yang memeriksa niatnya sendiri, menikmati perihnya sesekali. Menghitung segalanya seharusnya berhenti --ada masanya pasti berhenti!---ia terus bertahan meyakini.

Jalan seperti ini---menjadi sunyi dalam hening mengawasi---pada mulanya dimulai dari sejenis komedi faktual manusia. Sebuah ungkap butuh yang naif atau narasi setengah jadi yang salah dimengerti. Sebab, kau tentu tahu, beberapa komedi yang diawetkan kedalam tragika, terlalu berpusing pada "aku sebagai semesta kecil untuk ruang bebas paksaan demi berbicara dan dimengerti": tentang bagaimana mulanya kejatuhan pada pesona, kebutuhan untuk selalu melihat yang makin permanen menjadi candu, dengan lidah selalu kaku di depan serba kamu.

Dan, lambat laun, mengapa masa depan terlihat suram tanpa kamu? Maka, kehidupan sepertinya hanya menunda mati, kamu harus tahu!---kutuknya sejak dipasung segala kamu.

Sedang kamu? Kamu masihlah seorang terkasih yang tertidur, kehangatan, manis dan lugu. Ramah dan lekas lupa pada kesalahan dan rasa sakit yang ditulis padamu. Dengan seolah keberuntungan yang perlahan-lahan tak lebih dari takdir buruk. Selalu ada ungkap butuh yang pandai bersolek--semesta kecil yang asing-- datang membuktikan jika dunia diciptakan dengan beberapa bagian adalah kekuasaan lelaki dan sisanya hanyalah wilayah melepaskan kenikmatan. Kamu adalah korban!

Mereka datang menggagahimu---menguji daftar rasa sakit kepadamu.

Sungguh ia semesta yang malang. Semesta mungil yang melawan mati di depan ilusi dan hal yang dipegangnya sebagai suci: cintanya. Semesta porak-poranda dengan propaganda keras hati di luka otaknya: hidup kini mempercepat mati, kamu harus tunduk!

Ia, gairah lelah pada jejak terompah kulit sapi yang enggan menyerah di ladang sendiri. Memilih sunyi yang mengawasi. Terpaksa meyakini hari-hari hanya menunda kematian adalah ajakan lain dari pelepasan rasa sakit diabaikan. Ia memenuhi panggilan ada masanya, segalanya pasti berhenti!

Dan kini, kematian baginya sungguh-sungguh adalah kesempurnaan. Kamu harus kembali.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun