Hari pertama, Januari 2016.
Pada sebuah ruas jalan, tiga pria dengan tiga dunia.
Seorang pria,telanjang dada, gimbal, dan betis yang penuh varises, tanda bahwa ia telah sangat jauh berjalan dengan tidak mengambil pusing dunia manusia normal. Ia berdiri di atas tiang penopang jembatan dengan satu kaki diangkat dan dua lengan yang terentang, menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia seperti hendak melompat pada tiang penopang berikutnya. Serius sekali.
Seorang pria, dengan rambut cepak kuning dicat sendiri. Berjalan dengan langkah setengah sempoyongan, keluar dari sebuah tenda terpal di tanah lapang yang masih juga memutar musik berdentam-dentam. Ada bau alkohol dan juga mata yang merah lelah, ia mungkin butuh tidur setelah semalaman dengan keringat pesta, musik, dan berisik petasan. Ia masih mabuk di bawah matahari tahun baru.
Seorang pria dengan dengan motor yang belum lunas kreditnya. Berkeliling mebawa sayur, ikan dan tahu, mencari pembeli. Wajahnya segar, badannya ringan. Malam tadi, ia tertidur lebih awal sebelum petasan,terompet, dan ajojing musik bertalu-talu menghancurkan hening di kaki Gunung. Pagi hari ia harus mencari rejeki.
Tiga pria, anak manusia, dengan tiga dunianya. Dunia orang-orang kecil.
Dunia pertama, seorang gila. Dunia yang mengabaikan apa yang baru dan lama, hidup dalam susunan imajinasinya sendiri. Tidak ambil pusing dengan ajakan seorang kepala negara meminta agar tahun depan harus ada perubahan perilaku. Tidak peduli doa-doa dari permohonan pemuka agama yang meminta damai dan kemakmuran untuk negeri di tahun berikut. Dunia manusia dalam kegilaan membuatnya tidak menjalani putaran waktu dengan harap dan beban, hidup seolah sehelai bulu yang lepas dan diterbangkan angin kemana suka, ringan.
Dunia kedua, seorang mabuk. Berdiri antara sadar dan tidak, seolah saja sedang menunjukkan laku yang enggan, sikap yang gamang, ketidakyakinan diri yang tersembunyi. Tapi ia tidak bisa menolak apa yang akan datang, menolak ketidakpastian yang pasti menjelang. Memulainya dengan mabuk mungkin juga sebagai sebuah cara pelarian diri dari kekalahan harian, mabuk membuatnya memiliki taktik untuk menutupi getirnya kekalahan.
Dunia ketiga, seorang pekerja. Berdiri pada kesadaran sepenuhnya jika manusia harus selalu memenuhi kebutuhan survivenya sendiri-sendiri. Matahari lama dan baru, angka-angka yang bertambah mengikutinya, tidak lebih dari rangkaian etape dalam sebuah pertandingan hidup. Manusia harus terus berlari dan mencapai garis finis pertandingan itu, menolak menyerah sebelum semuanya selesai.
Itulah kisah tiga dunia di tahun yang baru, dunia anak manusia. Tiga dunia yang aku lihat di ruas jalan kenyataan, ketika cerah hadir dari matahari pagi, ketika bau mesiu pergi dan suara musik berisik berangsur berhenti. Hidup kembali pada sehari-hari yang rutin, seperti yang kemarin.
Tiga dunia tadi juga adalah opsi, bila kau suka memahaminya seperti ini.