[caption caption="Ilustrasi - ayah dan anak (kfk.kompas.com/Wawan Wahjudianto)"][/caption]Kemarin.
Dalam menunggu pelayaran sungai kembali ke pinggiran hutan, seorang pemuda berbaring di bangku tunggu. Kulit tangan dan kakinya pucat. Sepertinya ia menahan sakit yang membuatnya payah. Sementara istrinya sibuk menenangkan anak perempuan mereka yang meminta jajan terlalu banyak. Istrinya jadi tak terlalu menggubris suaminya. Suaminya pun tak menggubris rengek anak perempuannya, ia terlalu payah bahkan untuk duduk.
Tak lama berselang, datang seorang yang lebih tua, mungkin usia 50-an, jelas ayahnya. Lelaki tua ini lebih kecil badannya, wajahnya tirus, tubuhnya lebih kurus dengan sepasang lengan berurat. Segera memeluk suami muda yang payah dan menitinya ke perahu yang akan berangkat seperti mengangkat bocah yang tersengal karena kemasukan air di hidungnya kala berenang.
Saya mengikuti mereka menuruni tangga pelan-pelan.
Kemarin itu di pelabuhan kecil antarkabupaten, saya menyimpan gambar seorang ayah yang datang menjemput anaknya yang juga sudah menjadi ayah. Ayah yang membawa pulang anaknya yang sakit.
Saya lalu teringat puisi Keringat milik Joko Pinurbo.
Keringat
Tiap hari ayah memasukkan
butiran keringatnya ke dalam botol
dan menyimpannya di kulkas.
Bila saya dilanda demam yang ganas,
ayah menuang keringat dinginnya
ke dalam gelas, saya minum hingga tandas.
Ceguk. Ceguk. Asunya amblas.
(2012)
Dalam keringat, Joko Pinurbo menghadirkan makna ayah sebagai sosok yang bekerja sekaligus penjaga keluarga, khusus kepada anak-anaknya. Keringat juga adalah tentang ayah yang berjuang untuk sesuatu yang bukan lagi demi dirinya. Ia berjuang untuk hidup sesudah dirinya, hidup milik anak-anaknya.