Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi Dalam "Teks Sadomasokis" Pebrianov-Desol Kepada Kita

22 Agustus 2015   13:00 Diperbarui: 22 Agustus 2015   13:27 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Adalah sahabat Felix Tani yang coba memberi bingkai kategoris pada apa yang dilakukan Pebrianov dan Desol tiga hari terakhir di Kompasiana. Kompasiner Pebrianov dan Desol, dalam satu interaksi kata yang menghentak tanpa membentak, telah mempertunjukan apa yang disebutnya sebagai ‘teks sado masokis”. Mereka berdua sedang saling balas pantun tentang menghadirkan rasa akit dan kenikmatan, atau mungkin tentang “kehendak membunuh yang kasar dan kepuasaan yang mencari saluran” (?).

Yang jelas, oleh Felix Tani, sang spesialis Humor Revolus Mental, kita diminta wajib WASPADA. WASPADALAH karena orientasi yang satu ini menikmati kesakitan yang ditanggung obyek seksualnya !. Kata lagu dangdut, tega bahagia di atas derita orang lain. Duh!.

Saya tidak sedang menyanggah Felix Tani yang memberi warning dengan cara yang khas seorang Sumatera dari Utara: langsung ke sasaran. Saya hanya hendak mencoba menunjukkan satu sisi, mungkin sisi yang tidak dikehendaki, untuk diungkap. Saya bisa salah mengungkap, tapi kita ungkap saja, toh Pebri dan Desol telah memulai, hehehe.

Dari yang bisa kita baca bolak-balik atas bawah, untaian kata berbalas kata yang dilakukan dua penulis beda kelamin melalui pergulatan “gairah-kehendak melukai, rasa sakit dan kenikmatan” adalah, bagi saya, pertunjukan lumayan berani dari ekspresi sadisme dan masokisme (seksual) yang telah secara puitis mampu membuat kita “bersorak-sorak” dengan beramai menempelkan vote atau turut berkomentar hingga mengatrol mereka berdua ke kasta utama Nilai Tertinggi.

Masalahnya bukan di situ, bukan di dalam mereka berdua sebagai pelaku, namun pada kita, kita, penonton. Sebagai yang menikmati pertunjukan Pebri dan Desol, dalam sorak sorai tersebut, bukan tidak mungkin sedang merayakan dan meminta lebih dari pertunjukan tersebut, tidak cuma jangan berhenti.

Tapi, apa sih yang kita “rayakan dalam posisi sebagai penonton” ? Apakah ini sebatas sensasi sesaat kata-kata ?.

Apakah, karena disajikan secara “puitis”,dengan jalinan kata yang menari genit, yang kita rayakan adalah sebagai permainan kata dalam puisi saja ? Hanya permainan kata saja kah ?.

Atau jangan-jangan--ini yang kita hindari--nyanyi kata yang diproduksi dengan sangat bernafsu itu, secara jitu, menyamarkan energi, gerak, passion sesungguhnya,bahwa ini bukan “sekedar berbalas puisi ?”.

Mengikuti Sutardji Colzoum Bachri, jika puisi adalah alibi bagi kata-kata agar menjadi bebas dari beban makna, maka dalam teks sadomasokis ini, kita sedang mengikuti alibi itu, alibi yang membawa kita bebas dari “beban makna (normal versus tidak normal) dari pengalaman sehari-hari. Sebab bisa jadi, normal atau tidak normal adalah sesuatu yang terlanjur politis.

Lebih kompleks lagi, karena hendak bebas dari beban makna, ini tentang sebuah demonstrasi akan keganjilan (seksual) alias ketidaknormalan, sebuah ekspresi ganjil yang mungkin berakar dalam naluri dasar yang merayu lembut minta ditampilkan di sebuah era paskamodernisme (?).

Naluri dasar yang secara malu-malu meminta dilahirkan sebagai denyut yang hidup di luar apa yang disebut sebagai normal dan tidak normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun