Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Sepakbola, Sindiran Maradona dan "Perlawanan Dunia Ketiga"

27 Juni 2016   13:24 Diperbarui: 27 Juni 2016   20:18 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lionel messi. Sumber: Ndtv.com

Tadinya saya hendak mulai paragraf pembuka dengan kalimat: Messi, yang kamu lakukan pagi ini itu sakit! Memainkan laga sepanjang waktu normal dan perpanjangan waktu, Messi gagal memberi sentuhan magis. Sebagai penendang pertama, kamu juga gagal. Dan puncaknya kembali gagal membahagiakan negaramu, Messi!

Namun ungkap kekesalan di atas jelas tidak fair. Sepakbola adalah olahraga tim dimana peluang memenangkan partai puncak ditentukan oleh banyak faktor. Apalagi partai puncak sebuah turnamen yang jarak antar pertandingan dekat dan tekanan cenderung lebih tinggi. Sepakbola tidak ditentukan seorang atau tiga orang. Lagi pula, saya terhadap Argentina bukanlah tentang seorang Cinta dengan Rangga. 

Saya selalu teringat Maradona jika Messi terus gagal memberi gelar untuk negara. Pencapaiannya di klub yang disempurnakan dengan gelar Ballon d’or lima kali itu selalu terbaca subordinat di depan pemilik “Gol Tangan Tuhan”. 

Messi boleh dijuluki alien atau Messiah namun, sekali lagi, selama tanpa persembahan gelar piala dunia atau juara Copa America, ia akan terus saja sebagai bayang-bayang si Boncel. Apalagi sebelum kegagalan menjuarai Copa America edisi 2016, Maradona menyindir La Pulga sebagai pemain yang tidak berkepribadian, bukan tipe pemimpin tim. Duh.

Sementara kita tahu Messi memiliki sejarah perjuangan diri yang tidak mudah. Ia berjuang melawan keterbatasan fisiknya dan sejak usia dini sudah hidup di perantauan. Ia bekerja keras hingga Riijkard memberi kepercayaan dan kesempatan tampil di tim utama Barcelona. 

Sejak itu Messi menjadi “daya magis” sepakbola yang terus melahirkan kekaguman dunia. Sisi lain yang penting digarisbawahi, dibanding Maradona, hidup Messi masih lebih sepi dari skandal.

Oleh karena itu, jangan menggunjingkan lagi kritik Maradona. Terlebih setelah pertandingan, Messi mengatakan “Ini bukan takdir kami. Ini final ketiga kami secara beruntun. Kami sudah berusaha. Ini sangat sukar, ini masa-masa yang sulit untuk dianalisis. Di ruang ganti, saya berpikir bahwa ini sudah selesai untuk saya. Tim ini bukan untuk saya,” sebagaimana dilaporkan CNN Indonesia. Sudah, sudah, jangan hakimi Messi lagi.

Yang menjadi menarik dari sindiran Maradona kepada Messi barangkali adalah hubungan antara pencapaian diri (prestasi sepakbola) dan kebanggaan hidup sebagai negara bangsa.

Pada negara, olahraga adalah patriotisme, tidak cukup sekedar profesionalisme. Pada negara berdaulat, sepakbola adalah martabat bangsa, bukan sekadar daftar tropi pribadi yang memenuhi lemari museum klub atau kamar di rumah.

Keberadaan negara masihlah menjadi entitas politik yang tidak tersungkur ditengah industrialisasi sepakbola dimana uang, teknologi, popularitas dan pasar bekerja. Ketika uang, teknologi, pasar dan popularitas dominan dalam sepakbola, keberadaan negara membuat faktor-faktor ini memiliki batas.

Kita bisa mengambil penggambaran yang lebih kompleks tentang olahraga dengan negara seperti berikut ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun