Di turnamen Piala Jendral Sudirman 2016 ini, ada satu sosok yang memberi harap dan kebanggaan lanjutan.
Iya, ia memberi harap dan kebanggaan jika dari Tanah Papua selalu ada Mutiara Sepakbola. Dia adalah Rudolf Yanto Basna, pemuda kelahiran 12 Juni 1995, peraih penghargaan pemain terbaik sepanjang turnamen.
Pertama kali melihat perawakan dan caranya bermain, saya menyangka sosok ini pemain asing. Persangkaan salah sasaran ini menunjukkan dua hal, pertama, tidak lagi memantau perkembangan sepakbola paska sanksi FIFA yang membuat kabar dari Persipura menjadi tidak terpantau.
Sebab bagi saya, sampai kapan pun, tanpa Persipura, sepakbola di Indonesia tidak menarik. #PrinsipSejakLahir, hehehe.
Kedua, menunjukkan lemahnya pemahaman saya akan susunan marga di Tanah Papua yang memang sangat kompleks. Untuk susunan marga ini, umumnya di Papua terbagi dalam dua wilayah utama, pesisir dan pegunungan dengan penggunaan bahasa suku sekitar 250 anak bahasa, seperti kata George Aditjondro yang pernah lama meneliti di Papua.
Tapi mari kita bicara tentang Yanto Basna saja, bukan antropologi lingustik.
Dari Pandit Football, saya mendapat keterangan jika anak muda ini juga masuk dalam proyek SAD yang dikirim ke Uruguay dan masuk dalam skuad Tim Nas u-19 Indra Sjafrie.
Cedera membuatnya harus istirahat tiga bulan dan menggagalkan keterlibatannya dalam turnamen resmi. Cedera yang membuatnya “hilang dari peredaran” dan kemudian menunjukkan bakat luar biasa itu di Piala Sudirman.
Selama melihat dia bermain di semifinal, Yanto yang juga mahasiswa ilmu olahraga ini sangat tenang dan disiplin menutup lubang di pertahanan. Selain berbadan tinggi, ia juga mahir melakukan tackle bersih. Kehadirannya membawa ketenangan.
Saya jadi ingat pada sosok Aples Gideon Tecuari, yang bersinar awal tahun 1990an bersama timnas Indonesia. Aples yang memiliki tinggi badan 175 cm juga sosok yang tenang dan bisa menjadi pemimpin di pertahanan.