Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ruang Kota, Kisah Kesaksian Sarung, Taman, dan Kafe

11 Oktober 2016   06:42 Diperbarui: 11 Oktober 2016   15:06 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Ikan Jelawat, Kota Sampit | dok.pribadi

Pada mulanya adalah sarung.

Sudah dua malam saya tidur tanpa dipeluk sarung. Ini sama dengan memaksa nyenyak pada tidur. Sungguh sebuah perjuangan, berkali-kali tidur menolak, berkali pula saya meminta, tidurlah dengan tabah, tubuh. Begitulah, sarung kepada nenyak telah serupa kerinduan terhadap puisi atau kusut dewasa terhadap polos bayi.

Karena sarung yang sebegitu butuh, saya pergi ke sudut kota Sampit. Menjumpai malam yang miskin bintang dan rembulan yang bersembunyi di balik gelap. Ada gerah yang ditingggalkan mereka di tengkuk yang resah sebab tidur tanpa nyenyak.

Sudut malam di Sampit itu adalah sebuah taman dengan tugu Ikan Jelawat. Sesudah membayar sarung Gajah Duduk, saya masuk ke pelatarannya.

Ada tawa anak-anak yang sedang berseluncur pada jalan yang disediakan untuk kursi roda, mereka gembira. Beberapa orang mengambil foto dirinya. Ada muda mudi yang sedang bicara malu-malu, mungkin rindu mereka baru bertemu. Ada sepasang yang berdiri saja, mungkin mereka ayah dan ibu dari anak-anak itu.

Ada rombangan remaja yang sedang bergerombol dalam lingkaran, beberapanya memilih selfie. Ada tenda petugas dengan suara yang selalu mengingatkan, jangan buang sampah sembarang dan dilarang merokok area taman! Ada saya yang memperhatikan mereka semua dengan kemampuan jurnalisme warga yang buruk sekali.

Taman Tugu Ikan Jelawat | dok.pribadi
Taman Tugu Ikan Jelawat | dok.pribadi
Mereka menikmati ruang publik ini dengan caranya sendiri-sendiri bersama "negara yang mengingatkan berkali-kali".

Saya sejenak lupa bila dua malam terakhir, saya kehabisan rayu membujuk tidur.

Keramaian kecil taman telah membawa jenuh tubuh pada penyerapan akan energi kegembiraan kecil, sederhana. Kegembiraan warga yang walau belum total ditekan oleh pertarungan hidup gaya "urban neoliberalism", tetap saja membutuhkan itu. 

Taman adalah ruang publik bagi bermacam-macam ekspresi. Anak-anak berhak ketawa-ketiwi berseluncur pada tempat yang salah, tentu dengan diawasi ortunya. Muda mudi berhak datang dan duduk mencakapkan rindunya yang tak pernah habis sesudah bertemu. Anak-anak ABG berhak narsis dengan poncerdas barunya atau sekedar pamer skill bermain sepatu roda.

Orang-orang yang susah tidur tanpa sarung pun berhak datang untuk menertawakan dirinya: lihatlah dunia di luar kamar dan sosial media, orang-orang berbagi ruang dengan gembira!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun