00.00.
Sarung yang sedang malu-malu membelakangi Tubuh. Tubuh yang disesaki rindu.
Di luar jembatan layang, bulan setengah terang.
Pertanda syahdu untuk bersatu.
“Aku telah lama menantimu, Sarung.”
Dan terkenanglah tubuh pada hari-hari banjir peluh dan nyeri di dasar lambungnya. Di lenguh nafas pada jerit roda di jalan berlubang.
Juga doa-doa, “Tuhanku, beri aku rezeki demi menyunting sarung yang halal.”
Setiap hendak menyerah, doa itu menyelamatkan kerinduannya menjadi tangguh.
“Aku bukan pertama yang menghangatimu, Tubuh.”
Terkenanglah sarung pada perjalanan menuju nasibnya yang lusuh. Ketika selimut dan cover bed adalah idola baru di televisi dan mulut emak muda, sarung pernah merelakan dirinya membasuh kencing yang pikun atau berak yang patah hati. Ia hampir saja berakhir di meja vermaak keset kamar mandi.
“Rinduku adalah keberterimaan segala tragedimu, Sarung.”
Sarung terus membuka tubuhnya.
Sepenuh cinta, ia menerima rindu yang bertarung.
“I Love You.”
Sebentar lagi adzan subuh.
2016
***