Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Puasa dalam Keberbedaan, Dua Catatan Pengalaman

14 Juni 2016   05:32 Diperbarui: 14 Juni 2016   21:34 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bahaiteachings.org

Sesudah Soeharto mundur. Sekitaran tahun 2000an, kerusuhan berdimensi SARA di Tanah Maluku dan Poso (Sulawesi Tengah) masih menyimpan bara dan sewaktu-waktu bisa meledak. Gelombang pengungsi sudah terjadi dan mulai memasuki kawasan Sulawesi Utara. Saat-saat itu banyak beredar rumor akan terjadi perluasan konflik berdarah ini ke Bumi Nyiur Melambai. Walau hidup sehari-hari berjalan normal, ada perasaan was-was dan waspada yang tumbuh diam-diam.

Tahun-tahun ini, saya masihlah mahasiswa perantau yang sedang menyusun diri  dalam pergaulan sosial sebagai individu yang jauh dari rumah. Masih anak bawang dalam perantauan. Dalam usaha menaati laku pergaulan itu, kebanyakan mahasiswa perantau akan merasakan proses latih diri yang mengasyikan. Misalnya saja, harus memasak, mencuci, juga menyetrika (olah domestik). Saat bersamaan juga bergaul di masyarakat yang menjadi “rumah belajar budaya baru”, semisal belajar dialek atau bahasa lokal juga sistem norma tidak tertulisnya. Singkat kata, pengalaman merantau dapat dikategorikan sebagai tahap lanjutan dari pembentukan individu atau internalisasi dalam bahasa sosiologi.

Salah satu pengalaman mengasyikan sebagai mahasiswa perantau adalah berpuasa di kampung orang. Dalam pengalaman saya berpuasa di Manado, sebuah kota kecil di tepian laut Pasifik yang memiliki jejak pengaruh Kekristenan sangat kuat. Seperti inilah kisah mengasyikan itu.

Kisah Berpuasa dalam Keberbedaan

Saya tinggal di sebuah rumah kos di wilayah Malalayang milik keluarga Kristiani Protestan yang berhimpun dalam denominasi Gereja Kristen Injili di Minahasa (GMIM) bersuku Sangihe. Bapak Kos mewakili tipe kepala keluarga yang pendiam namun ramah. Sementara ibu cenderung cerewet dan protektif. Saking protektif si ibu, kami sering merasa ia tipe yang pelit dan tidak ramah.

Satu masa, di rumah kos itu tinggallah saya seorang diri. Di bangunan kos yang berbentuk leter U, dapur anak kos tersambung dengan dapur tuan rumah, ada tujuh kamar yang dhuni oleh mahasiswa yang juga tidak satu asal daerah. Dua teman saya adalah mahasisiwi kebidanan dari Talaud yang beragama Krisitiani, seorang perempuan dari Bali yang beragama Hindu lalu seorang dari Langowan, Minahasa yang juga Kristiani. Dua yang disebut belakangan ini adalah karyawati. Selain itu, saya sendiri dengan dua orang kawan dari Jayapura, Papua, yang beragama Islam dan Kristiani serta seorang teman dari Gorontalo yang Islam. Singkat cerita, yang berpuasa di bulan suci Ramadan hanya tiga orang.

Dua minggu menjelang lebaran, semua teman sudah bergerak kembali ke kampung halaman mereka. Kembali ke dalam hangat kasih sayang keluarga. Termasuk dua karyawati yang memilih pulang ke keluarga mereka. Saya sendiri memilih tidak pulang, karena selain jauh Manado-Jayapura, sebagai perantau sejak pertama keluar dari rumah sudah terpasang niat pantang balik ke rumah sebelum sarjana. Atau, secara filosofis terkatakan dalam nasehat manusia maritim: sekali layar terkembang, pantang surut sebelum tiba di dermaga tujuan. Keren kan filosofi manusia maritim kita?

Dua minggu pertama puasa, saya belum merasakan perihnya mengalami kesendirian dalam berpuasa. Teman-teman yang tidak berpuasa saat itu sering sekali membagikan nasi atau lauk untuk santap sahur dan saat berbuka tiba. Ada yang bahkan membeli es buah untuk jamuan ikut berbuka puasa bersama-sama. Dengan kiriman bulanan sekitar tiga ratus ribu rupiah saat itu, tentu saja bantuan nasi dan lauk ini adalah dukungan positif yang bagus sekali.

Dukungan mereka juga ditunjukan dengan selalu makan siang di kamarnya masing-masing. Padahal biasanya jika tidak dalam bulan puasa, mereka akan makan di ruang makan anak kos sembari ngobrol macam-macam. Mulai dari urusan kuliah hingga perkembangan cerita sinetron, entah tentang Vonny Cornelia, Lulu Tobing atau Maudi Kusnadi. Tiga nama ini memang berbekas dalam di kenangan, hak hak.  

Dua minggu selanjutnya, mulailah saya ditikam keperihan itu. tertinggal seorang diri menjalani puasa. Wajah ibu sering sekali terbayang, bukan wajah kekasih yang memilih mencari ketimbang bertahan menentang "teori jarak lekas sekali membunuh kenangan". Hiiks.

Saya ingat sekali kalau pada dua minggu terakhir itu, berpuasa benar-benar olah diri yang sunyi. Saya harus terjaga kala sahur dan menikmati berbuka seorang diri saja. Bersyukur dari rumah kos ada sebuah pasar yang setiap pagi dan sore cukup ramai, pasar Bahu namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun