Dengan cara bagaimana kita meruwat gairah berpuisi--atau yang seolah tampil sebagai puisi--dalam keberamatiran kita?
Gairah itu adalah energi yang lahir dari semesta emosional yang menggejolak dan memaksakan untuk tampil dan berkata-kata? Semesta emosional yang mungkin melow, Mungkin juga sebuah gugat marah yang serius. Kepada hidup sehari-hari. Artinya seberapa harus kita memahami konsepsi di balik sebuah puisi, spirit yang melandasinya, motif yang hendak dicapainya, dan konsekuensi yang diinginkannya?
Atau, biarkan saja semesta emosi itu mengalir dan menuruti pilihan kata-kata yang dikehendaki kita? Ya, kita yang amatiran.Â
Saya masih bertanya-tanya. Kepada diri saya sendiri, tentunya.Â
Kali ini ada pertanyaan yang sejenis muncul kembali. Yakni ketika diremuk sebuah puisi lantas muncul pertanyaan, mengapa bisa?
Saya tidak bisa menjawabnya. Saya masih tidak tahu persis bagaimana menjelaskannya. Yah, begitulah. Satu-satunya yang pasti terjadi adalah pada setiap yang remuk selalu ada yang menghantamnya. Â Pada setiap yang (lekas) remuk, ada keberadaan yang rapuh. #OohEmjiiiii
Pada beberapa hari berjalan ini, ketika langit hujan rajin menyambangi kota Sampit, saya berjam-jam berkaca di depan youtube. Berkaca pada rekaman video para penyair dan pembacaan puisi, baik yang dilakukan langsung atau oleh orang lain.
Khusus yang dibacakan langsung oleh penyairnya ini, saya lekas remuk.
Eh, tapi pemirsa, remuk disini bukan satu rasa. Artinya saya bisa tetiba tertawa, tetiba juga bersembab mata. Tiba-tiba marah dan mendadak, jegeeer, gila nih puisi. Tentulah, keremukan karena puisi disebabkan oleh standar pemaknaan yang bekerja di hati. Sekali lagi di palung hati, bukan dalam kategori-kategori rumit ide tentang puisi.
Mengapa puisi yang dibacakan oleh penyairnya sendiri?
Ya karena dengan begitu, ada dua hal yang bisa diambil perasaan pembaca. Â Pertama, energi kreatif dibalik puisi itu. Kedua, suasana rasa manakala puisi disusunnya.