Kita akan tua sendiri-sendiri, mati sendiri-sendiri, terbenam sendiri-sendiri. Dan kata 'kelak', kelak cuma ganti kelakar untuk pemanis kematian!
[Esha Tegar Putra, Berkelar Sendiri,Terbenam Sendiri]
Kemarin.
Teras rumah yang senyap di ujung jalan gang yang lengang, perempuan pucat kurus memandang dalam-dalam ke mataku. Sehingga seolah saja ia sedang menguliti apa saja jejak kisah di dalamnya. Ia menghadirkan rasa cemasku pelan-pelan. Seolah saja ia adalah malaikat maut yang menginterogasi kesaksian hidupku satu-satu.
Kelopak matanya yang lusuh pada kening berkerut dengan alis yang hendak jatuh mengirim cerita. Cerita yang mengendap dalam mata yang kuyu. Kami beradu tatap, mengukur kedalaman jejak kisah milik masing-masing. Mataku kalah, tersungkur menatap jalan tanah, membenam di dalamnya. Kalah pandang-kalah nyali-kalah akal adalah tanda kalah cerita.
Kedua kaki yang telah membawaku berjalan ke negeri-negeri sepi pun turut lemas. Daya sebagai pengelana yang tidak pernah lama bertahan ingatan pada tatapan dari orang-orang yang dijumpai selain kisah langkah sendiri tidak banyak memberi energi.
Mata perempuan tua benar-benar menghentikan waktu dan memutus jalan tenaga.
“Hidupku sebentar lagi selesai, kau boleh menyimpan ceritanya.”
Dan aku mulai tersedot, masuk pada kisah dalam matanya.
Pemandangan sungai, jukung dan perempuan dengan kain yang dililit di kepala meniti air ke anak-anak sungai. Kail dan umpan cacing dalam wadah tempurung duduk tenang di dalam jukungnya yang tak pernah kering. Sirih dan pinang merawat bibirnya selalu merah di bawah matahari.
Sepanjang meniti kulit air dengan kayuhan dayung yang pasti, suara nanyi burung dan teriak monyet adalah nyanyian yang menemani rindunya mengail. Alam masihlah kawan yang ramah, selalu membuka pintu kebaikannya bagi anak-anak manusia pencari ikan.