Ada yang pernah mengatakan jika puisi itu ada dimana-mana, kita hanya tinggal mengeditnya.
Saya kira ini ada benarnya, tentu dengan beberapa catatan kritis. Salah satu catatan itu adalah puisi bukan peniruan yang mentah dan langsung terhadap apa yang disajikan oleh alam atau kehidupan. Dan juga, tidak untuk memenuhi ambisi akan pengertian yang tetap dan benar tentang dunia manusia. Sebaliknya, melalui kreativitas puisi, segala isi dalam kehidupan direnungkan kembal. Segala yang terlanjur dimengerti tentang manusia "dibongkar" lagi.
Ulil Abshar Abdalla, menunjukan argumentasi di atas dalam tulisan berjudul Puisi, Euforia, Aporia, dengan indah sekali. Ia mengatakan jika di kehidupan modern, puisi bekerja menggarap "wacana sisa (residual discourse). Yakni, (menggarap) sesuatu yang tak disentuh oleh sains, pengetahuan, dan agama menjadi wilayah garapan puisi dan artikulasi kesenian secara lebih luas. Biasanya, wilayah sisa ini lebih banyak menyangkut pengalaman personal yang sangat intim dan “eksentrik”. Kita, sebetulnya, bisa mengatakan bahwa puisi dan kesenian adalah “gudang eksentrisitas”, tempat di mana “individual idiosyncracies” atau keanehan-keanehan individual biasa disimpan dan diawetkan.
Tapi saya tidak hendak mengelaborasi pandangan di atas. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang sebuah film dan puisi. Film yang berjudul Paterson. Film bergenre drama yang disutradarai Jim Jarmusch, sutradara berkebangsaan Amerika Serikat. Paterson mulai dirilis Oktober tahun kemarin, mula-mula di Jerman, Perancis lalu Amerika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H