Senen, sekitar tahun 2011.
“Kau bisa ya hidup di tempat seperti ini, Ji.”
Tanya itu membuat terkejut.
Bertahan di ruang urban seperti Jakarta? Mengapa juga tidak bisa?
Yang bertanya kepada saya lima tahun lalu itu adalah seorang keturunan Takalar, dari selatan Sulawesi. Dia baru saja pulang dari Belanda untuk melakukan riset yang belakangan saya tahu tentang dinamika pemuda di propinsi kepulauan yang baru saja diremuk oleh tragedi berdarah, Ternate, Maluku Utara.
Dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini sekejap saja gambaran saya terhadap seorang dari pinggiran Indonesia yang hidup di jantung peradaban dunia, seperti Belanda, ternyata tidak memiliki cukup daya tahan untuk ruang megapolitan sehiruk-pikuk Jakarta.
Padahal, Jakarta seharusnya juga sebuah "pusat kecil" dalam peradaban dunia walau mungkin lebih merepresentasi “lokasi kapitalisme pinggiran”.
Jadi, secara linier, seharusnya ruang batinnya tidak memiliki masalah karena pengalaman ruang di wilayah di pusat peradaban dunia telah turut membentuk dirinya ketimbang sekedar wilayah pinggiran.
Dia seharusnya lebih siap dong hidup dalam kompetisi, disiplin, dan irama hidup yang serba cepat. Ternyata andaian linier saya salah.
Struktur psiko-urbannya menolak dimaknai begitu.
Saya jadi berfikir, sebaiknya mengubah andaian: Jakarta bukanlah representasi kota yang beradab sehingga membuat warganya nyaman sepanjang hari, sejak bayi hingga kembali mati. Dengan kata lain, modernisasi dalam ruang Jakarta memiliki tantangan eksitensi-sosiokultural yang lebih berat dibandingkan kota-kota di Eropa, barangkali.