Banyak tindakan serius dimulai dari ketaksengajaan. Pada mulanya, aku tidak membayangkan akan terus seperti ini, tak sengaja yang serius.Â
Maksudku, pergi diam-diam, menyelinap, mengendap keluar dari kamarku, berjalan lekas ke pagar, menyebrang jalan, menahan angkot 01 dan tiba di sebuah gerai makanan cepat saji yang berjarak tempuh 20 menit. Sedang kamar yang aku tinggali tanpa pamit, yang selalu kubiarkan tak terkunci, akan segera ramai dengan jiwa-jiwa sepertiku. Jiwa-jiwa yang percaya, setiap jomblo seharusnya menghabiskan kesunyian bersama-sama. Dengan gitar, lagu sendu, kopi. Atau sesekali, tuak kampung yang dibeli dengan patungan lantas terjerembab dalam cerita-cerita lara yang dikhayalkannya sendiri. Beberapa bahkan dengan berurai air mata. Lelaki sarat drama!
Tapi aku harus melakukan ini, pergi makan enak, sendirian saja. Pergi seperti ini membuatku merasa lepas dari sesak. Aku sudah merasa muak sejatinya. Perkumpulan jomblo yang mendayu-dayu lama kelamaan terdengar menjijikan. Jika mengenang ke belakang, aku sendiri heran, bagaimana perkumpulan itu bermula. Ide dari mana dan mengapa harus di kamarku? Yang jelas, sudah setahun kami melewatkan hampir setiap malam dengan cara seperti itu, berkumpul dengan lagu sendu yang merawat lara segerombolan jomblo. Seolah saja, kami hanya tercipta untuk hidup dalam siklus meratapi. Laki-laki tanpa nyali!
Di gerai cepat saji itu, aku memang tetap saja duduk sendiri. Tetap saja makan dalam sunyi. Membayar sendiri dan pulang sendiri.Â
Namun aku merasakan ada energi yang berbeda. Melihat suasana berbeda, melihat orang-orang berbeda membuatku sadar, lara hati jomblo yang berkumpul sama buruk dengan kepedulian tanpa tindakan.
Di gerai itu, misalnya. Aku pernah melihat seorang bocah yang terus saja berlari kesana-kemari. Sementara ibunya, dengan kesabaran, terus mengikuti dengan es krim gelas yang terus mencair. Aku lantas ingin seperti bocah, gembira berlari. Rasa bebas dan terlindungi. Eh, tidak cuma itu, aku pun ingin istriku seperti ibunya.Â
Pernah juga aku melihat dua pasangan baru, mungkin baru dua bulan menikah, duduk berhadapan, makan ayam sambil suap-suapan. Lelakinya menyuap ayam, perempuannya menyodorkan sedotan. Mesra yang segar--iyalah, baru menikah! Aku berharap, jika kelak menikah, dengan pasanganku, kita suap-suapan sampai rambut rontok dan gigi ompong merata. Di rumah, tidak di gerai cepat saji.
Dan aku pernah diperlihatkan dua remaja SMP, masih dengan seragam sekolah, datang bergandeng tangan dengan kepala perempuan menempel di pundak. Aku masih tidak menemukan jawaban, bagaimana mereka berjalan dengan cara kepala yang miring dan manja yang dipaksa-paksa sambil percaya diri antri di depan konter pemesanan? Sekali waktu, aku mendengar percakapan yang--andai saja salah satunya adalah adikku, sudah pasti benjol jidat atau merah kupingnya--.Â
"Mamah, mo pesen apa?" tanya lelakinya.
"Terserah Papah. Apa yang disukai Papah pasti kesukaan Mamah, kan?"
"Papah mau pesen yang ayam dilumuri keju kental membara, seperti cinta Papah ke Mamah. Mamah suka kan?"