Merdeka dimulai dengan bebasnya rasa takut. Atau paling kurang, kemampuan mengendalikan rasa takut.Â
Kalau pertanyaan ini dihadirkan lagi dalam kepala manusia yang sudah dan sedang "menuju tua dengan nasib yang menjadi kesunyian masing-masing" maka salah satu momen merdeka yang dirindukan adalah saat menjadi anak-anak. Memaknai merdeka sebagai anak-anak tentu pengalaman yang tidak sama kategorinya dengan yang sudah melewati masa ini. Namun, itu tidak berarti bahwa merdeka di kepala anak-anak tidak penting dijadikan bahan untuk mengenang dan memaknai apa sih merdeka itu bukan?
Beberapa puluh tahun ke belakang, setiap kita mengalami hari merdeka menurut anak-anak.Â
Saya sendiri, waktu itu sekitar kelas 4 Sekolah Dasar, mengalami satu peristiwa yang berkesan--karena itu sebaiknya dituliskan kembali sebelum menjadi samar-samar kemudian tersimpan dalam daftar yang dilupakan ingatan--yang tentu saja juga berlangsung di ruang dan waktu yang lain untuk anak-anak seusia zaman itu.Â
Peristiwa itu adalah parade hari kemerdekaan. Berlangsung di Kota Serui, Papua.
Sebelum hari itu tiba, kami sekumpulan bocah berkumpul merencanakan akan menampilkan drama jalanan untuk mengenang perjuangan Jenderal Besar Sudirman. Lokasi parade itu sendiri berpusat di Lapangan Trikora yang menjadi "jantung kota kecil" Kota Kembang ini. Dengan arahan guru kelas, adegan yang akan ditampilkan adalah kepemimpinan Jenderal Sudirman yang sedang ditandu dalam perang gerilya. Pesannya, untuk menjadi merdeka, manusia harus melawan rasa sakitnya sendiri. Yang masih kalah dengan rasa sakit dan penderitaan dirinya sendiri, maaf saja, masih jauh.Â
Saya sendiri dalam drama jalanan itu diposisikan sebagai prajurit, pengawal saja. Diposisikan sebagai "orang-orang kecil di samping sosok besar". Jadi, peran saya adalah prajurit yang tertembak mati dengan darah dari kesumba yang diisi dalam plastik es kemudian diikatkan pada rusuk sebelah kiri. Saya mati dengan memeluk bambu runcing.Â
Puncak dari drama perjuangan Jenderal Sudirman ala anak-anak adalah di depan Lapangan Trikora.Â
Persis di depan panggung di mana bupati duduk bersama jajarannya. Tetiba saja suasana meriah dan "chaos kecil" terjadi: anak-anak yang saling perang-perangan dengan desing suara peluru tiruan dan teriakan, aaakh... mati. Sesekali ditimpali merdeka, merdeka! Saya salah satu yang teriak merdekaaa... lalu desing peluru... dan akh... mati.Â
Tak disangka, begitu "chaos kecil berakhir", bapak bupati berdiri dan memberi hormat. Sikapnya sempurna. Kami membalas hormat tersebut. Kemudian tersenyum gembira. Akting kami berhasil. Jangan lupa, ini pentas anak kelas 4 SD lho! Horeeee.
***