Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merayakan Chairil Anwar, Sebuah Pesan tentang Kata

24 Agustus 2016   07:34 Diperbarui: 24 Agustus 2016   11:14 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Akun Twitter Malaikat TL

Ia mati dalam usia yang masih muda, 26 tahun atau 27 tahun kurang sedikit. Ia juga menolak bersekolah formal sejak masih usia abege. 

Saya menyaksikan (lagi) malam perayaan untuknya di hari peringatan merdeka. Hal yang cenderung baru di negeri ini ketika peringatan hari merdeka dikaitkan dengan hidup dan karya seorang sastrawan. Peringatan itu berjudul Merayakan Chairil Anwar. Grup Tempo yang melaksanakannya.

Di malam merayakan ini, ada pejabat politik dari menteri hingga bupati juga para aktor/aktris, hadir dan membacakan puisi. Ini juga menarik. Pejabat politik yang biasanya muncul di televisi dengan wajah dingin dan mulut dengan kata-kata yang serius kali ini membacakan puisi dengan keseriusan yang tidak bisa disembarangkan. Sedang para pemain peran itu pun sama, ketrampilan menerjemahkan naskah ke dalam peran kali ini ditantang memaksimalkan ketrampilan penghayatan. 

Tapi bukan itu yang bikin saya tertarik. Bukan karena kehadiran pejabat politik dan pegiat seni peran yang juga menunjukkan jejaring pengaruh dari grup Tempo ini.

Saya hanya tertarik pada sedikit pengantar tentang Chairil Anwar yang direnungkan Goenawan Mohamad. Lebih khusus tentang apa yang dimaknai lelaki yang pernah mengajak berkelahi Paus Sastra Indonesia tentang kata.

Kata tidak dibentuk oleh kesadaran yang berpikir. Kata dibentuk oleh aku yang ada di dunia, begitulah katanya.

Bagaimanakah sebaiknya ini dimengerti?

Mungkinkah kata-kata tidak mengalami berpikir terlebih dahulu? Mungkinkah kata-kata lahir dari ketiadaan pikiran pada makhluk yang memiliki sistem simbol bernama bahasa?

Tentu saja tidak. Sebab setiap kata yang keluar dari mulut berbicara dengan sistem bahasa tetap harus menggunakan pikiran agar dapat mengakses kata-kata yang dapat dimaknai lawan bicara. Bahasa memang soal kesepakatan pada kaidah, pada language. Karena itu pkiran manusia harus dibiasakan pada kaidah-kaidahnya. 

Lantas apa yang bisa dimaknai sedikit berbeda dengan kata-kata di atas?

Barangkali ini tentang peradaban bahasa yang terus dipaksa menjadi saintifik. Dengan kata lain merujuk pada kata-kata yang digunakan dalam kategori-kategori ilmiah. Yang dipelihara dalam kategori-kategori ilmiah sebagai satu-satunya ekspresi kata-kata yang benar dan patut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun