Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menuliskan Bepergian, Merawat KeIndonesiaan

24 April 2014   15:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:15 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bepergian ke tempat-tempat yang jauh selalu merupakan pengalaman yang menantang. Apalagi jika kita pergi untuk mengerjakan urusan yang berkaitan dengan kehidupan manusia banyak. Karena itu, bergembiralah. Kata Paulo Coelho, bawa juga hatimu ketika melakukan perjalanan atau bepergian !.

Pengertian tempat-tempat yang jauh tidak saja bersifat geografis, bahwa ia berada pada satu titik bumi yang berjarak ratusan kilometer dari tempat kita tinggal. Tetapi juga tempat-tempat yang jauh mewakili lokasi-lokasi kebudayaan yang berbeda, tempat tumbuh mekar (atau mungkin 'pudar'nya) satu identitas komunal, yang belum pernah kita jumpai, tempat suatu masyarakat hidup. Sehingga bepergian ke tempat yang jauh, pada dasarnya, adalah mengalami perjumpaan dengan kepelbagiaan dalam kehidupan manusia.

Di tempat-tempat itu, kita juga bisa mericek kembali 'kedirian kita (subyektivitas)' berhadapan dengan lingkungan manusia yang berbeda. Kita bisa mericek adat kebiasaan, bahasa, simbol-simbol budaya dan lain sebagainya yang hidup bersama masyarakat dimana kita sebelumnya menjadi 'orang asing' (tanpa harus mengalami absurditas). Lalu, melalui proses belajar kebudayaan, perlahan-lahan kita bisa membangun satu teknik adaptasi personal yang bagus.

Pada tempat-tempat yang jauh itu, kita juga bisa mericek sejarah hidup masyarakatnya. Mericek melalui sumber-sumber lisan atau pun sumber-sumber tertulis. Dengan begitu, kita memiliki tilikan untuk memahami perkembangan masyarakat, apa yang bertambah, apa yang berkurang atau bahkan hilang misalnya. Nah, ketika 'narasi sejarah lokal' yang kita 'temukan' ketika bepergian ke tempat-tempat yang jauh itu kita sandingkan dengan kondisi negara-bangsa kita, kita akan punya sudut pandang yang lebih tajam terkait isu-isu semisal pembangunan, pemerataan, dan ketimpangan wilayah.

Di tempat-tempat yang jauh dari rumah tinggal kita itu, kita bisa juga mempelajari pengetahuan sehari-hari yang berkaitan dengan kearifan hidup. Pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pengobatan tradisional misalnya. Dengan mana ketika kita sukses mempelajarinya, pengetahuan ini bisa diduplikasi di tempat tinggal kita kelak. Selanjutnya, terjadilah pertukaran pengetahuan bukan sekedar satu jumpa komunikasi yang basa-basi.

Sehingga akan lebih baik ketika bepergian kita memiliki satu rencana untuk menulis. Menulis tentang kehidupan di lokasi yang jauh itu. Kita akan memiliki bahan yang sangat kaya yang andai jika pun kita memilih hidup di tempat yang baru kita datangi ini, sampai mati, bahan itu tak pernah akan habis.

Ambil misal saja. Jika yang dilakukan para pengembara maritim dari Dunia Di Atas Angin melalui ekspedisinya ketika datang ke Nusantara hanyalah berdagang, tanpa 'menuliskan pengalaman bepergian' mereka, kita tidak akan pernah tahu kondisi masyarakat juga kebudayaan di zaman itu. Kita mengalamai keterputusan kesadaran sejarah, hal yang ujung-ujungnya akan berbahaya bagi kesadaraan kebangsaan.

Bahkan, sebagaimana sudah banyak dikaji oleh para sosiolog, secara politik, dalam kepentingan rezim kolonial, ketiadaan catatan-catatan/arsip-arsip dari mereka yang bepergian akan menjadi penghambat besar untuk merancang satu kerja politik kebudayaan yang berkaitan dengan penaklukan atau pendisiplinan kultural. Disinilah pengetahuan menjadi lokus produktif bagi kekuasaan.

Tentu saja, menakar kapasitas yang sangat terbatas, kita bukan hendak mendaur ulang pekerjaan para intelektual tukang kolonial itu lantas menyebarkan api prasangka dan rencana serangan balik penaklukan. Semacam merumuskan orientalisme dengan versi yang terbalik : kita sebagai subyek dan Barat sebagai obyek.

Kita bisa belajar dari Hassan Hanafi. Hassan Hanafi yang berlatar belakang kesadaran geokultural sebagai Islam Mesir sekaligus Hegelian Sorbonne yang terkenal dengan Kiri Islam-nya memang pernah merancang proyek ambisius Oksidentalisme untuk 'mengembalikan Barat ke batas-batas politik dan kulturalnya. Proyek intelektual yang sangat sulit ini demi merangsang dan membangun satu dialog kebudayaan yang lebih setara. Sebab masa depan bumi manusia membutuhkan proyek intelektual yang merangsang dialog-dialog lintas peradaban yang lebih jujur, kritis, dan berorientasi pada kemashlahatan bumi dan manusia.

Jika kita turunkan urusan besar ini ke tingkat yang kecil, paling kurang, perkara sekarang, jika kita sudah memilih akan membuat tulisan selama bepergian, adalah menulis dalam sudut pandang apa. Menulis dalam kerangka pikir tertentu sehingga buah penulisan itu bisa menjadi bahan yang berguna, paling kurang bagi diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun