Norman terbangun ketika berkas cahaya pagi yang mungkin kental amis darah menyapu wajahnya. Ia tertidur di bawah tank, dalam ketakutan yang melelahkan, pada tanah becek bersalju. Sepanjang malam ia turut bertempur di perempatan yang pagi harinya seperti ladang pembantaian. Saudara seperjuangan yang baru dikenalnya, Don "Wardaddy" Collier, Boyd "Bible" Swan, Trini "Gordo" Garcia, dan Grady "Coon-Ass" Travis, telah mati dengan cara yang heroik.
Sebelum pagi itu, di dalam tank Shermanyang menjadi saksi dari banyak pertempuran darat, Norman pernah hendak menyerah saja ketika amunis telah habis dan tinggal Wadaddy yang sekarat. Ia hanya terlatih menulis, tanpa pengalaman bertempur, ketakutan setengah mati. Perang yang dipilihnya ternyata adalah perang habis-habisan. Padahal ketika ada kesempatan untuk bersembunyi dari pertempuran habis-habisan itu, dialah yang mula-mula, mendahului Bible, Gordo dan Grady, memilih mengikuti Wardaddy yang bersikeras bertahan di persimpangan jalan becek bersalju bersama Fury.
Bagi Wardaddy, Fury bukan sembarang tank, ia adalah rumah. Lebih dari itu, adalah kehormatan dan takdir sejarah. Bersama Fury, mereka telah bertempur sejak di Afrika hingga ke German.
Maka, bertempurlah habis-habisan mereka di persimpangan jalan dengan tentara German yang datang serupa semut. Bertahan sebisa mungkin di dalam Fury, mereka mati sebagai prajurit, kecuali Norman yang meloloskan diri melalui lubang palka.
Demikianlah ending film Fury, yang dibintangi, a l :  Brad Pitt, Shia LaBeouf, Logan Lerman, Michael Pena, Jon Bernthal, Jason Issacs, dan Scott Eastwood. Kabarnya film perang yang dirilis 17 Oktober 2014 silam ini menghabiskan 80 juta dolar Amerika. Fury berlatar perang dunia ke II, kala sekutu bertempur dengan German, mungkin salah satu film perang yang enak ditonton di tahun 2014.
***
Situs antaranews.com memberi judul mencari makna pengorbanan dalam kekejaman perang untuk film yang dibesut David Ayer. Namun, keterangan yang menyentuh datang dari Brad Pitt, yang memerankan Wardaddy, komandan tank Fury yang keras hati dan kejam namun penuh welas asih kepada anak buahnya. Pada situs republika.co.id, Pitt mengatakan :Â bahwa film tersebut (Fury-red) bercerita tentang akumulasi trauma psikis yang diderita para tentara dan terbawa hingga batas waktu tertentu.
"Ini adalah fakta yang luar biasa dari sifat manusia bahwa dalam satu tahun kita dapat saling memotong dan berikutnya kita saling berbagi. Kami selalu berpindah ke dalam konflik, tidak peduli berapa banyak kami berevolusi," kata Pitt sebagaimana dilansir republika.co.id.
Jadi Fury adalah drama di dalam perang. Atau, bagaimana melihat perang dari sudut pandang para prajurit yang sudah mengetahui pada hari tersebut mereka hanya akan pulang sebagai nama untuk nisan. Dengan disupervisi oleh kru tank dalam pembuatannya, Fury menghadirkan suasana yang cukup hidup di dalam tank; hubungan yang hangat diantara Wardaddy dengan anak buahnya. Dalam kondisi sedang bertempur pun ketika sedang santai dalam iring-iringan, suasana kekeluargaan antar kru begitu indah mengalir.
Saya menonton film yang dibesut David Ayer ini 3 kali, mula-mula karena rasa penasaran pada akting Brad Pitt. Saya memang sengaja menyimpan beberapa filmnya, seperti Babel, Tree of Life, World War Z, juga 12 Years a Slave. Di film yang saya simpan, Brad Pitt memainkan karakter yang matang. Pada Fury, saya juga menikmati kematangan aktingnya, hal yang tidak saya temukan pada Keanu Reeves di film bersetting pembalasan dendam, John Wick (2014).
Fury bagi saya adalah kisah heroisme yang getir. Heroisme barangkali adalah api energi yang dapat memenangkan perang, sementara kegetiran adalah trauma yang membuat orang menentangnya. Oleh Fury, kejamnya perang menggabungkan kedua itu. Perang juga membuat jatuh cinta seolah iklan (dalam lakon Norman dan Emma), sebatas pemanis kisah. Di kasus yang lain, barangkali jatuh cinta dalam perang adalah tragedi. Apalagi seks, ia seperti membersihkan senapan di musim rehat menunggu komando berikutnya.